Pertanian Tadah Hujan
Secara global, produksi pertanian tadah hujan mencakup 80 persen dari total lahan pertanian yang ada dan menyumbang lebih dari setengah produksi pangan dunia (FAO, 2020). Sedangkan di Indonesia, lahan tadah hujan merupakan penyanggga produksi padi terbesar kedua setelah lahan sawah irigasi.
Di Indonesia, produksi padi sebagian besar (60,3%) berasal dari lahan sawah irigasi dan sebagian lagi (26,5%) dari lahan sawah tadah hujan (Wahyunto 2009). Luas lahan sawah tadah hujan di Indonesia sekitar 4 juta ha (Sulaiman et al. 2017). Namun hasil padi di lahan sawah tadah hujan relatif rendah dibandingkan dengan lahan sawah irigasi.
Sementara itu, luas areal pertanian tadah hujan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sekitar 67.118 ha (BPS, 2018), sebagian besarnya mengalami intensitas kekeringan dalam berbagai frekuensi. Persoalan kekurangan air terus mengalami peningkatan seiring dengan dampak dari perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang berlangsung. Kondisi akan memberikan tekanan terhadap tata kelola air yang lebih produktif pada sistem pertanian tadah hujan.
Pertanian tadah hujan di NTB sejatinya telah berkembang melalui pengembangan padi dengan sistem tanam Gogo Rancah (Gora). Inovasi ini bahkan telah menghantarkan NTB meraih swasembada beras pada tahun 1984. Namun, seiring waktu berjalan sistem pertanian tadah hujan tersebut mulai ditinggalkan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti produksinya yang masih rendah (karena penggunaan varietas lokal dan sebagian besar menggunakan tenaga kerja manual, tanpa atau sedikit aplikasi pemberian nutrisi dan bahan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit). Selain itu, tantangan mengatasi kekurangan air juga telah mempengaruhi produksi pertanian tadah hujan di NTB.
Bagi Lombok Research Center (LRC), tantangan pengembangan pertanian tadah hujan yaitu adanya perubahan cuaca, suhu, serta pola curah hujan yang tidak menentu. Tantangan tersebut juga dibarengi oleh masih kurangnya pengelolaan tanah dan air. Semua tantangan tersebut akan berdampak negatif terhadap kapasitas produksi pertanian tadah hujan di NTB, yang ujungnya juga mempengaruhi pendapatan petani serta upaya peningkatan ketahanan pangan dan gizi yang menjadi program pemerintah daerah NTB.
Baca juga : Kemana Arah Pembangunan Pertanian Lombok Timur?
Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB menyebutkan produksi Padi tahun 2020 mencapai 1,3 juta ton. Kondisi ini tentunya juga disebabkan oleh produktivitas tanaman yang mengalami kondisi yang sama yaitu cenderung fluktuatif dan menurun. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah luas areal panen tanaman pangan di NTB dalam periode 2018-2020 terus mengalami penyusutan (lihat tabel 2).
Memanfaatkan Curah Hujan Dengan Lebih Baik Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Tadah Hujan
Memanfaatkan potensi pada pertanian tadah hujan di NTB tentunya membutuhkan penerapan praktik-praktik pengelolaan air pertanian berdasarkan perkembangan teknologi tata kelola air pertanian yang lebih baik. Untuk itu, LRC berpandangan bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal maka, tata kelola air juga harus dikombinasikan dengan praktik pertanian/agronomi yang sejalan dengan kondisi pertanian tadah hujan.
Memanfaatkan air hujan merupakan salah satu cara atau strategi yang dapat diaplikasikan. Adapun cara-cara atau strategi ini sudah banyak dilakukan diberbagai tempat di seluruh dunia yaitu, (1) Pemanenan air hujan. Cara ini dimaksudkan untuk mengumpulkan air hujan dan menginfiltrasikan ke dalam zona akar tanaman, dan (2) Konservasi Air dan Tanah. Cara ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas serapan tanaman dan/atau mengurangi penguapan serta kehilangan air drainase.
Secara global, teknik konservasi dan pemanenan air ini dapat berjalan efektif. Di India, praktek konservasi dan pemanenan air hujan yang dikombinasikan dengan modernisasi sistem pengairan serta pengelolaan nutrisi tanah telah mampu mengurangi dampak kekeringan serta meningkatkan hasil panen sebesar 30-50 persen dan intensitas penanaman mencapai hingga 80-150 persen (FAO, 2020).
Pengelolaan tanah dan air secara terpadu (seperti penghijauan dan pengelolaan tanah minimum) telah memberikan manfaat terhadap pengelolaan jasa ekosisten, mengurangi erosi, dan limpasan air permukaan (run off). Secara global, pengelolaan sistem pertanian tadah hujan yang dilakukan diperkirakan mampu meningkatkan produksi tanaman hingga 20 persen.
Kebijakan Pemanfaatan Potensi Pertanian Tadah Hujan
Luas areal pertanian tadah hujan di NTB yang mencapai 67.118 ha merupakan salah satu potensi sekaligus tantangan dalam kebijakan pertanian Provinsi NTB. Diperlukan suatu komitmen semua pihak dalam bentuk investasi, baik secara kemitraan maupun inisiatif. Hal ini karena permasalahan kelangkaan air pada pertanian tadah hujan tidak dapat diatasi oleh petani atau berdasar pada keputusan petani saja. Diperlukan informasi serta dukungan kepada petani agar dapat mengatasi kendala utama pada pertanian tadah hujan.
Pada umumnya petani-petani di NTB yang melakukan kegiatan pertaniannya pada lahan tadah hujan merupakan petani kecil dengan segala keterbatasannya (akses pada sarana dan mekanisasi irigasi, input pertanian, keterampilan dan penguasaan teknologi menahan air). Keterbatasan-keterbatasan tersebut tentunya dapat diatasi oleh petani. Untuk itu, kebijakan pemerintah daerah untuk mendorong adanya investasi pada pertanian tadah hujan sangat diperlukan, baik itu secara kemitraan maupun melalui inisitif sektor publik.
Lombok Research Center (LRC) memiliki pandangan ataupun saran kepada pemerintah daerah didalam pemanfaatan potensi lahan pertanian tadah hujan, yaitu antara lain;
1. Memperkuat tata kelola dan pengaturan kelembagaan pengelolaan air yang berkelanjutan
Pemerintah Provinsi NTB perlu untuk mendorong adanya kegiatan investasi serta inovasi pada pertanian tadah hujan. Hal ini sangat penting untuk dilaksakan karena selama ini kebijakan dan tata kelola pengelolaan sumber daya air di bidang pertanian masih terfokus pada irigasi. Investasi dalam pengelolaan air, baik itu pada pertanian tadah hujan maupun irigasi dapat dilakukan melalui promosi investasi. Selain itu, kebijakan ataupun perencanaan sumber daya air pada daerah aliran sungai (DAS) dan daerah resapan juga harus mempertimbangkan kebijakan terhadap pengelolaan air hujan.
Organisasi pangan dan pertanian perserikatan bangsa-bangsa atau FAO (Food And Agricuture Organization) menyebutkan kebutuhan pangan di masa depan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi. Untuk itu, upaya pemenuhan pangan sebagian besar akan sangat bergantung pada pertanian tadah hujan. Hal ini dipengaruhi oleh laju alih fungsi lahan yang berdampak pada semakin berkurangnya luas areal pertanian irigasi.
Begitu juga dengan kondisi populasi penduduk NTB yang terus bertambah. BPS menyebutkan jumlah penduduk NTB pada tahun 2020 jumlah penduduknya telah mencapai 5,32 juta jiwa dan diprediksi jumlah penduduk NTB tahun 2030 akan mencapai 7,9 juta jiwa. Untuk tahun 2020, jumlah penduduk miskin di NTB mencapai 13,97 persen atau 713.867 jiwa.
Apabila pertanian tadah hujan tidak terlalu diperhatikan maka, dikhawatirkan akan menambah persoalan sosial yaitu angka kemiskinan yang bertambah disebabkan oleh masih banyaknya penduduk pedesaan di NTB yang bergantung pada curah hujan didalam melakukan kegiatan pertanian dan kebutuhan air domestik.
2. Menghitung curah hujan dengan kondisi tanah secara seimbang
Untuk memaksimalkan potensi keuntungan dari keberadaan pertanian tadah hujan di NTB apabila didalam praktik pertanian tadah hujan memperhatikan tata kelola air dan tanah yang seimbang secara terorganisasi antara pemerintah provinsi ntb dengan pemerintah kabupaten/kota. Praktik-praktik tersebut juga tentunya harus dikombinasikan dengan penggunaan bibit atau varietas tanaman yang memiliki keunggulan seperti tahan terhadap perubahan cuaca dan tidak terlalu membutuhkan air yang banyak. Selain itu, proses penyuluhan pertanian yang selama ini dilakukan secara manual harus ditingkatkan dengan cara mendigitalkan berbagai layanan penyuluhan. Cara ini selain mempercepat proses transfer pengetahuan juga lebih efisien dan efektif di tengah minimnya tenaga penyuluh yang ada.
3. Mengadopsi pendekatan inklusif, partisipatif dan konsultatif
Investasi dala bentuk kemitraan maupun inisiatif pada pertanian tadah hujan akan memiliki fanfaat maksimal apabila juga melibatkan petani didalam pengembangan teknologi terutama pada berbagai kelembagaan petani maupun komunitas-komunitas lokal yang ada pada daerah aliran sungai (DAS).
Selain itu, pelibatan berbagai lembaga penelitian baik dari kalangan akademisi maupun lembaga non pemerintah lainnya penting untuk disertakan secara aktif dengan tujuan membantu peningkatan kapasitas petani di NTB yang secara tidak langsung juga berperan memberikan layanan penyuluhan terkait dengan pengetahuan dan teknologi pengelolaan pertanian tadah hujan. Kemitraan ini juga dimaksudkan untuk membantu pemerintahaa daerah didalam mengidentifikasikan berbagai kendala pada aspek kesuburan tanah, penerapan pertanian yang cerdas air, dan pengelolaan nutrisi tanaman pada pertanian tadah hujan.
4. Mengembangkan Program Kesiapsiagaan Kekeringan Pada Pertanian Tadah Hujan
Kebijakan terhadap kekeringan tidak hanya mencakup pada aspek kesiapsiagaan atau respon terhadap bencana saja namun, kebijakan kekeringan di NTB harus memasukkan aspek praktik pemanenan air hujan. Dalam hal ini Lombok Research Center (LRC) menyarankan kebijakan mengenai kekeringan di NTB terutama terkait dengan respon pertanian tadah hujan harus memperhatikan (1) Sistem pemantauan, prakiraan, dan peringatan dini dapat berjalan dengan baik dan terkoordinasi, (2) Tingkat kerentanan serta penilaian dampak bagi pertanian tadah hujan, dan (3) Kesiapsiagaan, mitigasi, dan respon kekeringan.
5. Memperhitungkan Kapasitas Sumber Daya Air
Meskipun pemanenan air merupakan salah satu strategi didalam pengembangan potensi pertanian tadah hujan di NTB namun, tetap harus memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan terutama yang terkait dengan ekosistem yang berhubungan dengan air, ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Untuk itu, kebijakan pengembangan pertanian tadah hujan dalam bentuk investasi harus didahului dengan perencanaan dan perhitungan terhadap kapasitas air yang lebih detail. Hal ini tentunya sangat terkait dengan penilaian kapasitas sumber daya air yang tersedia serta penggunaannya. Untuk itu, perlu menempatkan kebijakan tersebut dalam konteks kelembagaan serta tata kelola yang lebih luas lagi. Pada saat musim kemarau tiba, hanya air hujan yang masuk ke dalam tanah yang efektif dalam hal pertumbuhan tanaman dan kondisi DAS.
Penulis Adalah Peneliti LRC