26.8 C
Lombok
Sabtu, September 21, 2024

Buy now

Polemik Hasil Survei Data Stunting: E-PPGBM vs SSGI

BARBARETO.com – Pengumuman hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 27 Januari 2023 oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, langsung mendapatkan beragam respon dari beberapa pejabat di lingkup Provinsi NTB maupun pejabat di lingkup kabupaten/kota.

Respon tersebut berlandaskan kepada ketimpangan data SSGI 2022 dengan data yang diperoleh langsung di lapangan melalui aplikasi e-PPGBM (elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) yang menurut versi pemerintah daerah sebagai data yang akurat.

Berdasarkan hasil survei SSGI tahun 2022, jumlah prevalensi balita stunting di Provinsi NTB mencapai 32,7 persen sedangkan berdasarkan pada data e-PPGBM prevalensi balita stunting di NTB sebesar 16,84 persen pada 2022.

Sedangkan untuk stunting di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan hasil SSGI 2022 mencapai 35,6 persen dan untuk data e-PPGBM sebesar 16,89 persen.

Klaim terhadap keakuratan data yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dimana data e-PPGBM sebagai rujukannya memang banyak terjadi dibanyak daerah lainnya di Indonesia.

Begitu pula di wilayah Provinsi NTB bahwa, klaim data e-PPGBM menggambarkan keberhasilan pemerintah daerah dalam menurunkan stunting.

Lalu pertanyaannya adalah benarkah hasil SGGI kurang akurat bila dibandingkan dengan hasil e-PPGMB?.

Kemudian bagaimana seharusnya kita memahami perbedaan hasil kedua pengukuran tersebut?.

Berkutat Pada Persoalan Data

Stunting, yang dalam bahasa Sasak disebut dendek/kodek/kocet (pendek) masih menjadi persoalan yang pelik bagi capaian pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Tidak hanya terkait dengan kemiskinan ataupun akses terhadap pangan namun, stunting juga memiliki keterkaitan dengan pola asuh dan pemberian makan pada balita.

Untuk itu, terlepas dari mana data yang paling akurat di antara e-PPGBM dan SSGI, yang paling penting dan harus menjadi perhatian bagi pemerintah daerah adalah fakta masih banyaknya bayi atau balita di NTB yang mengalami stunting.

Artinya tidak harus saling membanggakan atau saling mematahkan data mana yang paling akurat diantara e-PPGBM dan SSGI.

Berdasarkan berbagai hasil kajian serta pengertian antara e-PPGBM dan SSGI yang penulis rangkum dari berbagai sumber, aplikasi e-PPGBM pertama kali diperkenalkan pada 2017 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Aplikasi ini diperuntukkan untuk mencatat dan melaporkan hasil pengukuran status gizi yang dilakukan oleh masyarakat (kader) secara langsung.

Aplikasi e-PPGBM dibuat tentunya untuk mempermudah para kader didalam memberikan laporan hasil pengukuran yang dilakukan di posyandu sekaligus juga untuk mempermudah petugas gizi yang ada di puskesmas serta para pemangku kebijakan mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional untuk melakukan pemantauan status gizi anak balita.

Sedangkan SSGI berlandaskan pada hasil survei secara nasional yang dimulai pada 2019 dan 2021.

Untuk tahun 2020 tidak dilakukan karena pandemi Covid-19. SSGI dilakukan sebagai kebutuhan evaluasi di tingkat nasional sampai kabupaten/kota, survei ini didesain agar jumlah sampel mewakili sampai di tingkat kabupaten/kota.

Adapun pelaksanaan SSGI dilakukan atau melibatkan para petugas lapangan atau enumerator terlatih dengan latar belakang pendidikan gizi (minimal diploma tiga ilmu gizi).

Mereka memperoleh pelatihan yang optimal serta menggunakan alat ukur yang terstandardisasi. Selain itu, terdapat satu supervisor yang terlatih untuk setiap kabupaten dalam menjamin kualitas pengumpulan data di lapangan.

Latar belakang serta pemahaman yang berbeda dari para petugas e-PPGBM dan SSGI serta supervisi yang terbatas tentunya akan mempengaruhi kualitas data yang diperoleh.

Dari sifat penggunaannya juga memiliki perbedaan, sehingga seharusnya tidak perlu membandingkan kedua alat pengukuran ini.

Aplikasi e-PPGBM yang menjangkau seluruh balita di desa dimaksudkan sebagai cara untuk memonitor status gizi yang dilakukan oleh kader atau petugas gizi yang ada di puskesmas.

Sedangkan SGGI memang ditujukan sebagai alat evaluasi terhadap kemajuan intervensi gizi yang dilakukan sesuai dengan prosedur pengukuran yang terstandarisasi.

Aplikasi e-PPGBM memiliki keunggulan karena data tersedia by name by address sehingga dapat digunakan untuk intervensi gizi dengan cepat.

Selain itu, data ini menjadi dasar perencanaan yang dilakukan oleh kabupaten saat melakukan analisis situasi setiap awal tahun.

Kesalahan yang terjadi selama ini adalah data e-PPGBM dibandingkan dengan data survei sebagai data evaluasi program.

Evaluasi Penanganan Stunting

Polemik tentang alat pengukuran mana yang paling akurat atau tepat saat ini sudah tidak relevan lagi, mengingat persoalan data masih menjadi suatu tantangan bagi pembangunan di daerah.

Yang terpenting saat ini adalah pemerintah daerah terus melakukan evaluasi terhadap program penanggulangan stunting yang telah dilakukan.

Hal ini penting untuk diperhatikan agar dapat memberikan penilaian terhadap pengaruh dan efektivitas dari program yang telah dilakukan selama ini menjadi semakin baik.

Jangan hanya untuk melihat penurunan prevalensi stunting yang drastis setiap tahunnya menjadikan hasil pengukuran dengan metode yang berbeda langsung dianggap sebagai momok, dimana pada umumnya data e-PPGBM memberikan hasil prevalensi yang rendah sehingga ada keinginan untuk membantah data yang bersumber dari metode dan kegunaan yang berbeda tersebut.

Intervensi penanganan stunting melalui pemberian makanan tambahan bagi balita dan pemberian tablet penambah darah kepada remaja putri tidaklah cukup tanpa ada upaya atau kebijakan yang bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat.

Sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah juga seharusnya diimbangi dengan menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk mensosialisasikan serta memberikan contoh perilaku hidup sehat serta mendakwahkan/mengkampanyekan upaya pencegahan stunting.

Menurut penulis, mengingat upaya pencegahan dan penanganan prevalensi stunting ini membutuhkan dana yang tidak sedikit maka, pemerintah daerah sebaiknya perlu melibatkan pihak swasta dalam bentuk Program CSR.

Penurunan prevalensi stunting tidak dapat terjadi dalam sekejap hanya mengandalkan pemberian makanan tambahan terhadap balita namun, penurunan prevalensi stunting membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

Veni Hadju (2022) seorang guru besar Ilmu Gizi di Universitas Hasanudin mengungkapkan beberapa negara berkembang membutuhkan waktu 10-20 tahun dalam upaya menurunkan prevalensi stunting dengan strategi yang komprehensif dan terintegrasi untuk mencapai prevalensi di bawah 10 persen.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini memang telah menunjukkan hasil walaupun belum maksimal namun, semangat pemerintah daerah dalam upaya menurunkan stunting harus terus ditingkatkan hingga target 14 persen RPJMN di tahun 2024 dapat tercapai.

Penulis: Herman Rakha adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)

Follow kami di Google News

Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
344PengikutMengikuti
112PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest Articles