27.3 C
Lombok
Senin, Juni 9, 2025

Buy now

Menunggu Jurus Jitu Bank NTB Syariah Untuk Bertahan

barbareto.com | Opini – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam peraturannya menegaskan bahwa akan melakukan perubahan klasifikasi bank dari Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) menjadi Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) tidak mewajibkan penyesuaian modal inti menjadi Rp 6 triliun.

Di dalam peraturan tersebut juga menegaskan bahwa modal inti minimum perbankan yang akan berlaku tetap Rp 3 triliun. Modal minimal ini wajib dipenuhi pada tahun 2022 dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) diberi kelonggaran hingga tahun 2024. 

OJK telah melakukan redefinisi pengelompokan Bank Umum dari sebelumnya BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI). Hal tersebut terdapat dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.

Kelompok KBMI 1 memiliki modal inti sampai dengan Rp 6 triliun, KBMI 2 punya modal inti di atas Rp 6 triliun sampai dengan Rp14 triliun, KBMI 3 modal inti dari Rp14 triliun sampai dengan Rp 70 triliun, dan KBMI 4 modal intinya di atas Rp 70 triliun.

Dulunya, pengelompokan bank dilakukan berdasarkan BUKU dengan tujuan mendorong konsolidasi. Bank BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital dengan harapan bank mau menambah modal agar naik BUKU. 

Mengacu data Statistik Perbankan OJK sampai dengan November 2020, masih terdapat 8 bank BUKU I. Selanjutnya, ada sebanyak 56 bank BUKU II, 25 bank BUKU III dan 7 bank BUKU IV.

Perubahan ini dimaksudkan dengan tujuan agar dapat membuat klaster bank itu menjadi lebih tepat sehingga modal inti itu tidak terlalu jauh antara bank satu dan bank lain. Selain itu, pengelompokkan baru ini juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien. 

Adapun angka-angka pengelompokan baru tersebut sudah melaui kajian akademis dan menyesuaikan dengan best practice di negara lain. 

Melihat adanya aturan tersebut, ini membuat bank daerah mulai berbenah. Termasuk bank kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu Bank NTB Syariah pun mulai membuat ancang-ancang dan strategi jitu. Jika tidak, selain ketinggalan kereta, bisa jadi bank NTB akan diturunkan kelasnya menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Kebijakan penambahan modal ini juga dilakukan mengingat semakin berkembangnya zaman dan ekosistem perbankan yang harus beradaptasi dengan tren digitalisasi yang tentunya memerlukan permodalan yang lebih besar.

Pihak perbankan harus mempunyai modal inti yang cukup kuat sejalan dengan telah terjadinya perubahan perilaku nasabah di era perbankan digital. Oleh sebab itu, dengan penerapan aturan ini, bank-bank di Indonesia akan lebih kuat dari sisi permodalannya.

Bagaimana dengan Bank NTB Syariah?

Bank NTB Syariah harus mampu membuat terobosan bisnis perbankan dengan mengikuti perkembangan zaman. Tentunya juga dengan tidak melanggar aturan yang ada. Salah satu caranya harus melakukan berbagai upaya untuk menambah modal di antaranya melalui penghimpunan dana melalui pasar modal (initial public offering), atau melakukan konsolidasi dengan cara merger dan akusisi.

Dikarenakan Bank NTB Syariah merupakan bank daerah, maka konsolidari dengan pemegang saham terutama dengan para Bupati dan walikota se-NTB juga harus giat dilakukan. di beberapa media online salah satu direktur Bank NTB Syariah menyebutkan telah melakukan konsolidasi dengan para pemimpin daerah yang nota bene menjadi pemegang saham.

Ada beberapa kesepakatan yang telah dilakukan yaitu dengan cara membiarkan bagi hasil yang diperoleh oleh Kabupaten/Kota menjadi tambahan modal. Ada juga dengan beberapa daerah menyerahkan asset berupa tanah kepada Bank NTB Syariah untuk dikelola dan dijadikan modal tambahan.

Namun melihat hal itu, terobosan ini belum lah cukup. Sampai saat ini Bank NTB Syariah memiliki total kekayaan sekitar 1,3 triliun. Artinya masih kekurangan modal sampai 60%. Untuk itu, diperlukan jurus-jurus jitu dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar 2024 nanti modal intinya sudah mencapai 3 triliun.

Disinilah diperlukan kreatifitas dan model terobosan yang jitu dari para petinggi Bank NTB Syariah. Secara internal Bank NTB Syariah harus mampu melakukan pembenahan seperti latar belakang karyawan yang tidak sesuai, sarana yang kurang memadai, dan software yang kurang mempuni atau maksimal.  

Berbicara potensi kedepan, Bank NTB Syariah pun harus mampu melihat potensi seperti semakin maraknya perusahaan rintisan (start-up) sebagai peluang emas membuat peran industri keuangan menjadi krusial. Financial technology  atau yang biasa disebut fintech sebagai disruptive innovation memang menciptakan pasar baru dengan inovasi, namun bisa merusak pasar konvensional. 

Namun, sebuah riset oleh Accenture mengungkapkan pasar fintech naik tiga kali lipat dari US$928 juta US$2,97 miliar dalam kurun waktu 2008 hingga 2013 dan terus meningkat pada 2018 yang diprediksi berkisar pada US$6-8 miliar. 

Data lainnya dari World Bank menyebutkan, pada 2014 penetrasi keuangan di Indonesia baru mencapai 35,8% dan fintech dinilai dapat mengambil peran dalam mengambil peranan penetrasi layanan keuangan yang senada dengan penetrasi broadband yang digalakkan pemerintah. 

Apapun yang menjadi fokus layanan fintech seperti penyedia layanan keuangan, alat pembayaran tagihan, hingga fokus pada bisnis mikro tetap yang menjadi benang merahnya adalah solusi teknologi inovatif dalam sistem keuangan.

Seiring dengan pertumbuhan bisnis e-commerce, dunia perbankan pun dituntut untuk bisa mengikuti tren transaksi digital termasuk dalam hal cashless payment, branchless banking, serta layanan perbankan keuangan berbasis internet lainnya. 

Data Bank Indonesia (2016) tercatat, total transaksi e-money tahun 2015 melonjak tajam ke angka Rp 5,2 triliun dari Rp 4,3 triliun pada tahun 2014. Oleh karena itu, industry perbankan menjadi salah satu sektor bisnis yang dituntut untuk melakukan transformasi digital. Apabila tidak memanfaatkan teknologi secara maksimal, maka bank akan berisiko kehilangan 30% dari total nasabah (Accenture, 2015).

Untuk itu, sebagai masyarakat NTB, penulis akan menunggu seperti apa terobosan dan jurus jitu dari Petinggi Bank NTB Syariah dalam bertahan untuk menjadi Bank yang maju dan menjadi andalan masyarakat NTB.

Jangan hanya menunggu dan meminta disusui terus oleh pemerintah daerah. Strategi jitu harus mampu dipraktikkan agar 3 tahun kedepan 2024, kita tidak mendengar ada Bank Kebanggaan kita akan turun kelas menjadi BPR.

Penulis Adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)

- Advertisement -
Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
121PengikutMengikuti
195PelangganBerlangganan

Latest Articles