Oleh: TEGUH SATYA BHAKTI
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Krisnadwipayana Jakarta
Mataram – Dengan diajukannya kesimpulan oleh paslon 01 dan Paslon 03, maka seluruh tahapan persidangan penyelesaian PHPU sengketa pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah selesai. Dan selanjutnya para pihak dan seluruh rakyat Indonesia menunggu Putusan MK pada tanggal 22 April 2024 mendatang.
Putusan MK adalah proses akhir dalam penegakan hukum PHPU Pilpres dan sekaligus merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi, karena menyangkut penentuan suksesi kepemimpinan nasional.
Ada banyak spekulasi yang berkembang di antara para pakar lintas disiplin ilmu dengan segala macam argumentasi yang dibangun mereka, mengenai kemana arah Putusan MK akan diketok. Perang paradigma pun terjadi di antara mereka, ada yang mengatakan MK akan menolak permohonan PHPU pilpres yang diajukan oleh Paslon 01 dan 03, dan ada pula yang berkeyakinan MK akan mengabulkan permohonan Paslon 01 dan 03.
Begitu juga dengan Proganda dan agitasi dari para pendukung masing-masing paslon menambah hiruk pikuk penantian Putusan MK. Tidak mau ketinggalan pula para tokoh-tokoh bangsa, para guru besar dan para pemerhati hukum dan demokrasi juga ikut serta menjadi bagian dalam penyelesaian sengketa pilpres ini di MK dengan ramai-ramai mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan.
Harus diakui, bahwa sebagai salah satu unsur organ penegakan hukum pemilu, tugas MK sungguh sangat berat. Di Tengah-tengah mandulnya institusi penyelenggara pemilu lainnya dalam menegakkan hukum pemilu, MK saat ini diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) dalam penanganan sengketa pilpres 2024. Dalam posisi yang seperti ini, para Yang Mulia Hakim MK mau tidak mau dituntut harus memiliki pemikiran kebangsaan yang jauh ke depan dan kematangan dalam bernegara.
Selain itu, guna menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum, para Yang Mulia Hakim MK juga dituntut untuk memiliki kemampuan professional, pengetahuan hukum yang tinggi, dan moral yang baik. Jika MK menolak permohonan Paslon 01 dan 03, dengan pertimbangan bahwa kewenangan MK hanyalah sebatas memutus perselisihan tentang hasil pemungutan suara dalam Pemilu, maka konsekuensinya Putusan MK akan dipandangan sebagai terlalu normatif karena hanya menitikberatkan pada tercapainya kepastian hukum.
Begitu juga dengan hakim MK-nya, akan dipandang sebagai corong undang-undang yang hanya menerapkan hukum pemilu sebagaimana adanya.
Putusan penolakan MK ini akan mempunyai banyak tantangan, karena dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang ditonton luas oleh Masyarakat secara langsung, ternyata dalam pelaksanaan pilpres 2024 banyak ditemukan diskrepansi (ketidakcocokan) antara penegakan hukum pemilu dengan kenyataan yang terjadi di dalam prakteknya, baik itu sejak pendaftaran paslon presiden dan cawapres, pelaksanaan pemilu sampai dengan penetapan capres dan cawapres terpilih.
Begitu juga sebaliknya, jika MK mengabulkan permohonan paslon 01 dan 03, dengan pertimbangan bahwa ada pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM) sejak pendaftaran paslon presiden dan cawapres, pelaksanaan pemilu sampai dengan penetapan capres dan cawapres terpilih, maka konsekuensinya Putusan MK akan dipandang telah mengenyampingkan kepastian hukum pemilu, karena hanya berpihak pada kepentingan permohonan paslon 01 dan 03.
Putusan MK inipun akan menimbulkan perdebatan yang panjang, terutama di kalangan penganut legal positivistik yang akan menyimpulkan bahwa Putusan MK tersebut seolah-olah tergantung pada subjektifitas hakim MK-nya, namun merugikan kepentingan paslon 02.
Selain itu, Putusan pengabulan tersebut akan menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana nanti pelaksanaan putusan MK tersebut, apakah akan ada pemilu ulang tanpa paslon 02? Bagaimana dengan waktu dan biaya yang akan dikeluarkan pada pemilu tersebut? Bagaimana dengan dampak yang timbul terhadap situasi politik nasional kedepannya?
Putusan Jalan Tengah: Putusan Efisien dan Bermartabat
Gus Baha dalam salah satu ceramahnya menyampaikan bahwa Kebenaran harus terus menerus diomongkan, disampaikan, dan disuarakan, karena sekali kebenaran didiamkan atas nama liberasi atau demokrasi maka Alloh akan mencabut barokatul ardhi (barokah di bumi) dan pasti akan terjadi prahara besar.
Mengacu pada pandangan yang demikian, maka tidaklah berlebihan jika harapan kepada MK dalam menangani sengketa pilpres ini, tidak hanya sekedar memeriksa dan memutus sengketa saja, namun juga wajib menyelesaikannya.
Jika MK hanya terbatas pada tahap memutus saja dengan pertimbangan legalistik formal belaka, boleh jadi Putusan MK nantinya akan menimbulkan persoalan hukum baru yang tidak menyelesaikan persoalan pokok sebelumnya.
Mengingat penyelenggaraan pemilu dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata, atau dengan kata lain Penyelenggaraan pemilu bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi peraturan perundang-undangan di bidang pemilu, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku para penyelenggara pemilu dan berlangsung dalam suatu institusi pemilu tertentu.
Jika dilihat dari tahapan pemilu, sumber dari segala sumber masalah hukum pilpres 2024 adalah penetapan Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo sebagai cawapres Prabowo Subianto. Permasalahan itu dimulai dari proses pemilu, yaitu antara lain:
Pertama, adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar hukum pencalonan Gibran, namun oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Putusan 90 dinyatakan sebagai Putusan yang bermasalah dari segi etika dan dan bermasalah dari segi konflik kepentingan.
Kedua, Tindakan KPU RI yang menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres prabowo, yang tidak sesuai Ketentuan Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 dan Pasal 13 ayat 1 huruf q PKPU No. 19/ 2023 yang mengatur tentang syarat usia capres/cawapres harus berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Namun belakangan KPU RI mengubah aturannya sendiri setelah Tindakan penerimaan Gibran sebagai cawapres itu dilakukan.
Ketiga, Putusan DKPP yang menyatakan Ketua KPU dan enam anggotanya telah melanggar beberapa pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu, karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. Artinya pendaftaran gibran sebagai cawapres prabowo sejak semula tidak memenuhi syarat menurut PKPU No. 19/ 2023.
Permasalahannya adalah tidak ada tindak lanjut dari penyelesaian MKMK dan DKPP tersebut untuk mengkoreksi penyimpangan hukum yang terjadi di awal, dan pada kenyataannya KPU RI malah bersikukuh berlindung dibalik alasan normatif yang mereka buat, dengan tetap melanjutkan tahapan-tahapan pemilu lainnya.
Sehingga dengan adanya pembiaran terhadap permasalahan penetapan Gibran sebagai cawapres prabowo, permasalahan-permasalahan lainnya kemudian muncul kembali pada tahapan pelaksanaan pemilu berikutnya, antara lain adanya Pelanggaran Administratif Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dalam Penjelasan Pasal 286 ayat (3) UU Pemilu dijabarkan sebagai berikut:
Terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh Aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi.
Masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian.
Tidak berhenti sampai disitu, permasalahan pada akhir pemilu pun kembali muncul, yaitu pada saat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tingkat nasional serta penetapan hasil pemilu, yang menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) dengan segala persoalan teknis, konsep maupun tujuannya.
Dan akhirnya semua permasalahan-permasalahan di atas, dibawa ke MK untuk diperiksa, diputus dan diselesaikan. Pertanyaannya apakah MK memiliki keberanian untuk tidak sekedar memeriksa dan memutus namun juga menyelesaikan persoalan pemilu 2024 dari hulu hingga hilir guna meluruskan penyimpangan-penyimpangan penyelenggaraan pemilu yang terjadi, baik pada tahap proses, pelaksanaan maupun akhir pemilunya?
Dalam mengadili suatu perkara, MK tidak hanya mengacu pada ketentuan hukum yang tertulis saja, namun juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang berbunyi bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan inilah yang dapat dijadikan dasar oleh MK untuk meluruskan Kembali penyimpangan-penyimpangan penyelenggaraan pemilu yang terjadi, mngisi kelemahan-kelemahan hukum pemilu; dan mengatasi stagnasi institusi penyelenggara pemilu guna kemanfaatan dan kepentingan bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa persoalan pokok pilpres 2024 adalah persoalan hukum dan bukan persoalan politik. Persoalan hukum tersebut menyangkut legalitas (kedudukan hukum) Gibran yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai Cawapres prabowo secara hukum, dan bukan persoalan dukungan gabungan partai politik yang mencalonkan Gibran sebagai Cawapres prabowo. Penyelesaian kedua hal tersebut haruslah dibedakan, walaupun hasil pilpres menguntungkan Prabowo sebagai Presiden terpilih.
Keuntungan Prabowo sebagai capres terhitung sejak konfigurasi partai politik guna memenuhi syarat presidential threshold, yaitu persentase raihan suara gabungan partai politik yang mencalonkannya sebagai pasangan capres dan cawapres. Keuntungan legitimasi politik ini merupakan hasil kemampuan Prabowo dalam seni menerapkan ilmu politik praktis yang tidak bisa diuji dengan menggunakan hukum positif.
Dalam konteks yang demikian, dapat dipahami bahwa secara legitimasi politik, pasangan capres dan cawapres Prabowo Gibran telah memenuhi syarat presidential threshold, namun secara hukum pemilu, hanya Prabowo yang memenuhi syarat sebagai capres berdasarkan hukum, sedangkan Gibran tidak memenuhi kualifikasi sebagai Cawapres menurut hukum.
Berdasarkan kerangka pemikiran hukum (legal framework) yang demikian, maka eksistensi Prabowo sebagai capres no urut 2, patutlah dipertimbangkan oleh MK untuk mendapatkan perlindungan secara hukum, mengingat persyaratan sebagai capres baik itu meliputi usia maupun dukungan gabungan partai politik terhadapnya, telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan oleh UU pemilu dan PKPU.
Namun tidak demikian halnya dengan Gibran yang sejak semula keberadaannya sudah cacat secara hukum. Sehingga walaupun keduanya oleh KPU telah ditetapkan sebagai pasangan capres dan cawapres dengan nomor urut 2, tidak adil bagi Prabowo jika ia juga terkena imbas terdiskualifikasi sebagai capres nomor urut 2 karena ketidak-sahan cawapresnya Gibran.
Oleh karena itu beralasan menurut hukum, jika MK menyatakan hanya mendiskualifikasi sepanjang keberadaan Gibran sebagai cawapres nomor urut 2.
Reformasi Jilid II
Konsekuensi yuridis terdiskualifikasinya keberadaan Gibran sebagai cawapres nomor urut 2 dalam kaitannya dengan permohonan Paslon 01 dan 03, tidak serta menyebabkan batalnya Prabowo sebagai capres terpilih.
Artinya boleh jadi MK hanya akan mengabulkan Sebagian permohonan Paslon 01 dan 03 yaitu dengan mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres nomor 2, dan menolak selebihnya permohonan Paslon 01 dan 03 yaitu dengan mempertahankan Prabowo sebagai capres terpilih. Sehingga tidak ada lagi pemungutan suara ulang (PSU) Pilpres 2024 sebagaimana yang dimohonkan permohonan Paslon 01 dan 03.
Jika MK memutus demikian, maka putusan tersebut dapat dikatakan sebagai putusan yang efisien dan bertanggung jawab. Efisien artinya melalui putusannya tersebut, MK akan meluruskan sekaligus memperbaiki kembali penyimpangan-penyimpangan hukum dalam penyelenggaraan pemilu yang terjadi untuk pemilu-pemilu berikutnya di masa depan.
Sebagai organ lembaga negara yang diberi tugas dan kewenangan untuk menegakan hukum dan keadilan, MK tidak boleh membiarkan para penyelenggara pemilu yang nyata-nyata mengunakan hukum sebagai alat yang menyimpang dari tujuannya. Sedangkan bermartabat artinya MK dengan kewibawaan formal yang dimilikinya akan mengembalikan kepercayaan publik kepadanya untuk menjadi Lembaga penentu yang bisa menyeimbangan antara kekuatan politik dan kedaulatan hukum.
Walaupun mungkin sekali tidak dapat memuaskan dan menyenangkan semua pihak, namun putusan MK tersebut dapat dijadikan momentum sebagai pintu masuk reformasi jilid II di bidang demokrasi dan hukum, yang akan menjadi pedoman dan rambu-rambu bagi Lembaga-lembaga negara lainnya dalam menyelenggarakan pemerintahan, baik itu pemerintahan pada masa transisi sampai tanggal 20 Oktober 2024, maupun penyelengaraan pemerintahan pada saat pergantian kekuasaan setelah pelantikan presiden baru tanggal 20 Oktober 2024, termasuk juga dalam hal ini memberikan landasan hukum bagi seluruh partai politik dalam melakukan pengisian kekosongan jabatan wapres akibat terdiskualifikasi.