barbareto.com | Opini – Belum genap sebulan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapatkan apresiasi tingkat dunia dalam program lingkungan yang dijalankan.
Beberapa program itu antara lain program Zero Waste, NTB Hijau, Energi Baru Terbarukan dan Eco-Tourism mendapat pengakuan dan apresiasi pada acara United Nations Framework on Climate Change Confidence melalui Committee on Parties ke 26 (COP-26), di Glasgow, United Kingdom Inggris Raya, Jum’at 12/11.
Apresiasi tingkat dunia bagi NTB ini perlu dipertanyakan oleh khalayak banyak (Publik), Kok bisa?.
Dilihat dari tren bencana yang dialami oleh NTB beberapa minggu ini. bisa penulis katakan bahwa, bencana banjir di awal Desember ini merata di seluruh kabupaten/kota di NTB.
Sebut saja yang paling parah yaitu banjir yang melanda Lombok Barat dan Kota Mataram pada hari senin (6/12/2021) yang lalu. Beberapa desa dan perumahan tenggelam.
Bahkan jembatan penghubung jalan utama menuju kawasan pariwisata Senggigi rusak parah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 404 KK terdampak banjir di wilayah kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat.
Sedangkan di kecamatan Sekotong Lobar, banjir telah menyebabkan 1.222 KK atau 3.985 jiwa terdampak.
Selain itu banjir juga menerjang tiga Kecamatan di Kabupaten Lombok Timur dan tercatat 94 KK terdampak.
Sejumlah desa yang tersebar di tiga daerah tersebut antara lain Kecamatan Keruak (Desa Ketapang Raya), Kecamatan Jerowaru (Desa Batu Nampar Selatan) dan Kecamatan Pringgabaya (Desa Gunung Malang dan Kerumut).
Sedangkan di Pulau Sumbawa, banjir juga melanda 4 kecamatan di Kabupaten Sumbawa yang menyebabkan 294 KK terdampak.
Menurut Indeks Risiko Bencana Banjir tahun 2020 yang dikeluarkan oleh BNPB melalui Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI), beberapa daerah di NTB memiliki kelas risiko banjir yang tinggi.
Adapun daerah kabupaten/kota tersebut antara lain yaitu, Lombok Barat (36,00), Dompu (25,03), Bima (24,52), Kota Mataram (22,91), dan Kota Bima (22,49).
Namun, mengitip pernyataan seorang sahabat yang ditulis dari halaman facebooknya mengatakan bahwa “Kita tidak perlu risau, toh kita yang menebang pohon-pohon, kita yang membangun vila-vila”.
Betulkah seperti itu?. Mari kita coba untuk mau jujur, apa yang sudah kita lakukan untuk memperbaiki lingkungan selama ini.
Atau kah kita hanya mampu memberikan kerusakan saja?. Atas nama pembangunan?.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Lombok Research Center (LRC), selama lima tahun berturut turut, NTB selalu mengalami banjir di beberapa wilayahnya. Yang menarik adalah, setiap tahun memiliki rekam jejak banjir yang cukup parah.
Misalnya tahun 2019 banjir yang cukup parah terjadi di Kabupaten Dompu, tahun 2020 banjir yang cukup parah terjadi di Kabupaten Bima dan Kabupaten Lombok Tengah yaitu di sekitar kawasan ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Dan tahun 2021 ini di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram.
Akankan kita selalu begini?. Lalu seperti apa strategi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah dalam memanajement bencana khususnya banjir ini?.
Kewajiban setiap pemimpin untuk dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Untuk itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh semua level pemerintahan adalah melalui pembangunan yang dilakukan dalam semua sektor kehidupan.
Namun, pembangunan yang dilaksanakan haruslah sesuai dengan prinsip-prinsp pembangunan berkelanjutan.
Hal ini penting untuk dipraktekkan untuk mencegah eksploitasi terhadap alam dengan dalih pelaksanaan pembangunan.
Beberapa kejadian bencana alam kerap disebabkan oleh faktor ketidakseimbangan antara manusia dengan lingkungan yang dapat terlihat dari pola produksi dan konsumsi yang tidak ekologis.
Alam hanya memberikan peluang dan kita sebagai manusia yang berperan untuk menentukan pilihan dari peluang-peluamg yang disediakan oleh alam.
Menurut Paul Vidal de la Blache (1845-1919), faktor yang menentukan itu bukan alam melainkan proses produksi yang dipilih manusia yang berasal dari kemungkinan yang diberikan alam, seperti iklim, tanah, dan ruang di suatu wilayah.
Dalam hal ini, manusia tidak lagi bersikap pasif atau pasrah menerima apapun yang diberikan alam seperti yang diyakini oleh paham determinisme, tetapi aktif dalam pemanfaatannya.
Manusia dan kebudayaannya dapat memilih kegiatan yang cocok sesuai dengan kemungkinan yang diberikan oleh alam.
Jadi, musibah banjir yang melanda sebagian wilayah Propinsi NTB lebih pada persoalan lingkungan hidup.
Kerusakan bukan masalah teknis tetapi krisis lingkungan adalah krisis moral manusia. Untuk itu, mengatasi masalah lingkungan hidup dewasa ini langkah awalnya adalah dengan cara merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar melaui pengembangan etika lingkungan (Sonny Keraf, 2002).
Pertanyaan sekarang ini adalah siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab terhadap berbagai kejadian bencana yang terjadi ini?.
Bila pertanyaan ini menjadi acuan mencari pembenaran maka, tidak akan pernah kita menemukan akar jawaban sebenarnya karena pastinya ada saling klaim atau pengakuan pembenaran dari masing-masing pihak baik itu dari sudut pemerintah maupun masyarakat.
Lombok Research Center (LRC) yang merupakan suatu lembaga non pemerintah memberikan perhatian yang berlebih terhadap permasalahan pelestarian lingkungan ini dan tidak ingin terjebak dan masuk dalam perdebatan siapa benar dan siapa yang salah.
Langkah nyata yang dilakukan oleh lembaga ini adalah dengan mengaplikasikan program Green Belt (Sabuk Hijau) Rinjani yaitu program Agroforestry berbasis tanaman gaharu dan tanaman di bawah tegakan yang telah dilaksanakan dalam dua tahun belakangan ini.
Lombok Research Center (LRC) memandang bahwa persoalan hutan tidak bisa dilihat secara spasial saja melainkan harus diurai satu persatu permasalahan yang telah menyebabkan adanya perilaku-perilaku ilegal sehingga menyebabkan terjadi kerusakan hutan seperti yang terjadi saat ini.
Seperti diketahui bahwa masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kawasan yang berfungsi sebagai daerah penyangga umumnya termasuk dalam kategori masyarakat miskin.
Kondisi ini juga disebabkan oleh tidak meratanya lapangan kerja yang bisa diakses oleh masyarakat sekitar kawasan hutan sehingga, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka masuk ke dalam hutan dan melakukan perilaku-perilaku ilegal terhadap keberlangsungan kelestarian hutan.
Dogma bahwa manusia sebagai makhluk paling sempurna di dunia telah menjadi pola pikir yang absolut terhadap hak-hak penguasaan alam tanpa penekanan kepada tanggungjawabpelestarian.
Pola pikir ini yang dicoba dirubah oleh Lombok Research Center (LRC) melalui program Green Belt yaitu bagaimana supaya masyarakat mampu bersinergi dengan alam untuk kebaikan bersama.
Kenapa pohon Gaharu dipilih oleh LRC karena selain berfungsi sebagai tanaman penyangga yang menjaga kesimbangan lingkungan, pohon ini juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Diharapkan nantinya dari program ini adalah terjaganya kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem juga mampu memberikan manfaat kepada masyarakat dari sudut ekonomi.
Adanya nilai ekonomi yang terkandung didalam program ini juga diharapkan perilaku masyarakat yang masih gemar masuk ke dalam hutan akan semakin berkurang karena dengan adanya Gaharu ini memberikan kepastian ekonomi bagi masyarakat.
Selain itu pohon Gaharu juga termasuk ke dalam komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Terlebih pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLH) telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengelolaan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) melalui pendekatan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan atau HKm.
Kerusakan hutan yang terjadi diharapkan tidak semakin meluas karena program Green Belt ini berfungsi untuk menjadi tameng atau pembatas bagi masyarakta agar tidak terus masuk ke dalam hutan.
Cukup sudah kerusakan hutan yangg terjadi sekarang ini sehingga program ini merupakan upaya nyata yang dilakukan oleh LRC sebagai bentuk tanggungjawab terhadap prinsip-prinsip kelestarian hutan yang selama ini menjadi pegangan.
Gaharu yang merupakan tanaman tahunan sehingga hasil yang didapatkan tidak bisa dinikmati dalam waktu dekat maka, LRC mengkombinasikan progam agroforestry ini dengan tanaman di bawah tegakan seperti Jahe Gajah, Lengkuas, Pepaya, dan tanaman empon-empon lainnya.
Harapannya selain hasil utama dari Gaharu masyarakat dapat menikmati hasil dari komoditi musiman tersbut dan memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesehjateraan masyarakat di dalam maupun di luar kawasan yang menjadi daerah penyangga.
Sebagai penutup dan mengutip penyataan dari Luna Vedia ( Yayasan BaKTI) bahwa Alam Rinjani dan kawasan hutan di Pulau Sumbawa bukanlah “jantung” melainkan alam dan kawasan hutan adalah “Kelamin” dimana apakah kita akan menjadi penjaga dari kesuciannya sebagai sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita ataukah kita akan bertindak sebagai pemerkosa yang menjarah dan mengeksploitasi Alam dan hutan kita secara berlebihan.
Semua itu tergantung dari sudut mana kita akan menempatkan diri terhadap kelestarian Alam dan hutan sebagai berkah yang Tuhan berikan kepada Pulau Lombok dan Sumbawa yang tercinta ini.