barbareto.com | Opini – Di dalam salah satu media online Sekretaris Daerah (Sekda) Lombok Timur, H. M. Juani Taofik menegaskan tingginya kasus pernikahan usia anak dengan berbagai macam alasan. Salah satunya disebabkan angka kemiskinan dan disamping akses pendidikan. Hal itu ditanggapi oleh Analis Kebijakan dari Lombok Research Center (LRC) Bapak Maharani.
Maharani mengatakan bahwa memang betul bahwa kondisi ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya angka pernikahan dini di Lombok Timur. Tapi kondisi seperti ini sudah sejak dari tahun-tahun yang lalu menjadi salah satu pendorong. Lantas apakah kita akan membiarkan kondisi ini terus menerus terjadi. Apakah tidak ada program riil dari pemerintah daerah untuk memutus kondisi ini.
“Jangan kita selalu menjadikan kemiskinan sebagai penyebab pernikahan dini, seharusnya sejak awal pemerintah daerah membuat program untuk memutus kondisi ini,” ungkap Maharani.
Menurut BPS dari 1,2 juta jiwa lebih penduduk Lombok Timur pada tahun 2019 masih terdapat 16,15 persen atau sebesar 193.560 ribu jiwa penduduk dalam kategori miskin dan pada tahun 2020 ini angka kemiskinan kita sebesar 183.840 ribu jiwa.
Maharani menegaskan bahwa, sejak awal pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang nyata terhadap peningkatan ekonomi masyarakat terutama generasi muda di Lombok Timur. Persoalan kemiskinan dan pendidikan yang rendah merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah.
“Pemerintah daerah sejak awal harus peka dan membuat program nyata untuk memutus pernikahan dini dalam bentuk peningkatan ekonomi dan pendidikan bagi generasi penerus bangsa,” tambah Maharani.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) Lombok Timur 2018-2023, focus kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan daerah sebesar satu digit pertahunnya. Pemerintah Daerah Lombok Timur mempunyai target penurunan kemiskinan sebesar 1 persen setiap tahunnya.
Selama September 2019 dan Maret 2020, garis kemiskinan mengalami kenaikan. Yaitu dari Rp 414.721 per kapita per bulan pada September 2019 menjadi Rp 430.727 per kapita per bulan pada Maret 2020. Dengan memperhatikan komponen garis kemiskinan (GK) terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM). Terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Analis Kebijakan LRC ini juga mengatakan bahwa keberpihakan pemerintah daerah dalam kebijakan penganggaran program untuk masyarakat miskin masih jauh panggang dari api. Dari hasil analisis yang dilakukan, dari total 1,4 triliun anggaran langsung yang diusulkan oleh pemerintah daerah hanya 15 milyar yang langsung menyasar masyarakat miskin dalam bentuk program. Sebagai contoh yang lebih teknis lagi. Dibidang kesehatan, dari total anggaran dinas kesehatan yang 211 milyar untuk Dinas Kesehatan dan 23 milyar RSUD Sujono selong, hanya 110 juta dianggarkan untuk masyarakat miskin.
“Bagaimana mau menurunkan angka kemiskinan satu persen, dengan anggaran yang sangat minim tersebut,” tegas Maharani.
Yang lebih parah lagi, dinas Pertanian yang selama ini memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu memberikan sumbangan PDRB untuk Lombok Timur sebesar 27,99% hanya dianggarkan 32 milyar dari 1,4 Triliun belanja langsung untuk tahun 2021.
Sehingga, Bapak Maharani menyimpulkan bahwa “usulan anggaran belanja tahun 2021 di Lombok Timur tidak berpihak kepada masyarakat miskin”.
Dari sisi edukasi terhadap perempuan dan remaja, pemerintah daerah pun sampai saat ini masih kurang berpihak dalam bentuk program yang konrit. Jika edukasi perempuan tinggi, harapannya akan lebih melek tentang kesehatan. Sehingga mampu menentukan untuk menunda pernikahan ataupun kehamilan.
Bapak Maharani mengatakan bahwa Informasi kesehatan reproduksi remaja hanya diketahui oleh 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki. Pendidikan dan pemberdayaan pada remaja sangatlah penting untuk menghindari terjadinya pernikahan dini.
Selain pemerintah dan tenaga kesehatan, peran orang tua terutama ibu sangatlah penting dalam menyampaikan hal-hal mendasar terkait norma dan informasi kesehatan reproduksi remaja. Jika upaya untuk mengurangi pernikahan dini bisa tercapai, maka angka kematian ibu maupun bayipun akan menurun. Tiap 10% penurunan kejadian pernikahan usia <18 tahun akan menyebabkan angka kematian ibu juga menurun hingga 70%.