Sumbawa, Barbareto – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Samawa Rea menegaskan bahwa penerbitan sertifikat hak milik (SHM) sepenuhnya merupakan kewenangan BPN, bukan pemerintah desa.
Pernyataan itu disampaikan oleh kuasa hukum Kepala Desa Jotang, Febriyan Anindita.,SH menanggapi penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pungutan liar (pungli) program redistribusi lahan.
“Proses penerbitan SHM dilakukan dan disahkan oleh BPN, bukan oleh kepala desa. Pemdes hanya berperan memfasilitasi masyarakat agar data dan administrasi lapangan tersusun rapi,” ujar Febriyan kepada media, Kamis (16/10/2025).
Pemerintah Desa Hanya Memfasilitasi
Menurut Febriyan, keterlibatan pemerintah desa dalam program redistribusi tanah hanya sebatas memfasilitasi koordinasi dan membantu pengumpulan berkas warga.
Kepala desa, katanya, tidak memiliki kewenangan hukum untuk menerbitkan atau memproses sertifikat tanah.
“Sertifikat hak milik adalah produk hukum negara melalui BPN. Kepala desa tidak menandatangani, tidak memproses, dan tidak memiliki kewenangan administratif dalam penerbitan SHM,” ujarnya.
LBH Keadilan Samawa Rea menyebut, pemahaman yang keliru tentang peran Pemdes ini menjadi penyebab utama munculnya dugaan pungli terhadap Kepala Desa Jotang.
Dana Iuran Hasil Kesepakatan Warga
Febriyan menjelaskan, dana Rp3 juta yang dipersoalkan penyidik bukan pungutan liar, melainkan iuran hasil kesepakatan warga.
Dana tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan teknis di lapangan, seperti pengukuran lahan, pengumpulan data, serta penyediaan perlengkapan administrasi.
“Ada berita acara resmi kesepakatan warga desa yang ditandatangani. Semua warga menyetujui iuran itu secara sukarela,” kata Febriyan.
Ia menambahkan, dana iuran tersebut tidak pernah masuk ke kas desa maupun rekening pribadi kepala desa, tetapi dikelola langsung oleh panitia kelompok masyarakat.
Unsur Pidana Dinilai Tidak Terpenuhi
LBH menilai tuduhan pungli terhadap Kepala Desa Jotang tidak memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tidak ada paksaan, tidak ada penyalahgunaan jabatan, tidak ada kewenangan hukum dan tidak ada keuntungan pribadi. Semua dilakukan secara transparan,” tegas Febriyan.
Ia menilai penyidik seharusnya menelaah secara cermat batas kewenangan antara pemerintah desa dan BPN sebelum menetapkan tersangka.
“Kalau soal penerbitan sertifikat, jelas itu kewenangan BPN. Menyalahkan Pemdes berarti salah memahami struktur hukum agraria,” ujarnya.
Perlu Pemahaman Hukum Agraria yang Utuh
LBH menilai kasus ini mencerminkan masih lemahnya pemahaman aparat terhadap pembagian kewenangan agraria antara BPN dan pemerintah desa.
Menurut Febriyan, desa sering kali dijadikan sasaran pertama dalam sengketa atau dugaan pungli, padahal tanggung jawab substantif berada di instansi teknis.
“Kami tidak membela kesalahan, tapi ingin hukum diterapkan proporsional. Desa hanya menjadi penghubung antara warga dan negara, bukan pelaku penerbitan sertifikat,” tegasnya.
Berita lainnya klik disini