Sumbawa, Barbareto – Penetapan Kepala Desa Jotang, HH, sebagai tersangka dugaan pungutan liar (Pungli) dalam program redistribusi tanah memunculkan sorotan baru terhadap batas kewenangan antara pemerintah desa dan BPN.
Kuasa hukum HH, Febriyan Anindita,SH, dari LBH Keadilan Samawa Rea menilai bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada kliennya tidak memiliki dasar hukum kuat.
Menurutnya, penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) sepenuhnya merupakan kewenangan BPN, bukan pemerintah desa.
“Proses redistribusi tanah diatur dalam Perpres 86 Tahun 2018 dan diperkuat melalui Perpres 62 tahun 2023. Semua kebijakan redistribusi tanah adalah domain BPN, bukan Pemdes,” ujar Febriyan kepada Media, Kamis (16/10/2025).
Redistribusi Tanah: Kewenangan Pusat, Bukan Desa
Dalam Pasal 8 Perpres Nomor 86 Tahun 2018, disebutkan bahwa tanah objek reforma agraria (TORA) meliputi tanah negara, tanah terlantar, hingga pelepasan kawasan hutan, yang diredistribusi oleh pemerintah melalui BPN kepada subjek penerima.
Sementara Pasal 2 Perpres Nomor 62 Tahun 2023 menegaskan bahwa strategi pelaksanaan reforma agraria meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset sebagai bagian dari percepatan kebijakan nasional.
“Artinya, kepala desa tidak punya kewenangan administratif maupun hukum dalam penerbitan SHM. Peran mereka sebatas memfasilitasi warga agar program berjalan tertib,” kata Febriyan.
Iuran Warga Berdasarkan Musyawarah Bukan Pungli Kepala Desa
Menanggapi dugaan pungli Rp3 juta yang menyeret nama kepala desa, Febriyan menjelaskan bahwa dana tersebut bukan pungutan ilegal, melainkan iuran yang disepakati bersama warga dalam berita acara Kesepakatan Warga.
Dana tersebut, menurutnya, digunakan untuk biaya operasional teknis seperti pengukuran lahan,mediasi,hearing di DPRD Sumbawa dan perlengkapan administrasi.
Ia juga menegaskan bahwa dana tersebut tidak masuk ke rekening desa maupun pribadi kepala desa, melainkan dikelola oleh panitia kelompok masyarakat yang ditunjuk dalam musyawarah.
Unsur Pidana Dinilai Lemah
Febriyan berpendapat bahwa tuduhan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal yang disangkakan tidak terpenuhi.
Menurutnya, unsur “memaksa” dan “penyalahgunaan jabatan” tidak ada, karena kegiatan tersebut bersifat partisipatif dan gotong royong.
“Ini bukan pungli, melainkan bentuk swadaya masyarakat yang mendukung program redistribusi tanah pemerintah. Tidak ada niat memperkaya diri atau merugikan negara,” kata Febriyan.
LBH Minta Penegak Hukum Objektif
LBH Keadilan Samawa Rea meminta penyidik Tipidkor Polres agar lebih objektif dalam menilai fakta hukum di lapangan, terutama terkait batas kewenangan antara Pemdes dan BPN.
Menurut Febriyan, penetapan tersangka terhadap kepala desa justru berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi desa-desa lain yang sedang menjalankan program redistribusi tanah.
“Kami berharap penyidik mempertimbangkan dasar hukum yang ada. Jangan sampai kepala desa dijadikan pihak bertanggung jawab atas urusan yang secara hukum bukan kewenangannya,” tutupnya.
Ikuti kami di channel WhatsApp Barbareto