27.4 C
Lombok
Kamis, Juni 26, 2025

Buy now

Mengenali Tantangan Lingkungan Dalam Membangun Desa Wisata Berkelanjutan di Lombok Timur

barbareto.com | Opini – Mengenali tantangan lingkungan dalam membangun Desa Wisata berkelanjutan di Kabupaten Lombok Timur tentunya harus menjadi salah satu perhatian bagi Pemerintah, karena Pariwisata saat ini menjadi salah satu sektor ‘primadona’ di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Terlebih lagi dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di kawasan Kuta Kabupaten Lombok Tengah yang saat ini bertransformasi menjadi epicentrum baru industri pariwisata dengan sirkuit bertaraf internasional didalamnya.

Prinsip berkelanjutan serta diharapkan menjadi daya ungkit bagi sektor lainnya, pegembangan dan pembangunan pariwisata yang sedang diupayakan diyakini akan memberikan dampak terhadap penciptaan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, yang ujungnya adalah penurunan angka kemiskinan.

Pendapat ini tentunya berdasarkan pada asumsi bahwa KEK Mandalika akan menjadikan pariwisata NTB lebih maju dan dikenal dunia, sehingga banyak wisatawan yang akan datang ke NTB.

Kedatangan wisatawan ini pastinya akan mengeluarkan biaya transportasi, biaya akomodasi penginapan serta makanan dimana, semua itu akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor jasa lainnya.

Suka tidak suka saat ini sektor pariwisata telah menjadi primadona baru didalam pembangunan NTB.

Segala upaya dilakukan oleh pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, misalnya dengan menggalakkan pengembangan desa wisata, penyelenggaraan acara atau event pariwisata, pembangunan infrastruktur pariwisata dan pendukung dibangun serta ditata yang dimaksudkan agar wisatawan merasa betah berlama-lama di NTB.

Semua itu tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan memberikan dampak terhadap kontribusi sektor pariwisata pada berbagai aktivitas perekonomian NTB lainnya.

Kabupaten Lombok Timur yang merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota di NTB saat sedang semangat-semangatnya mengembangkan sektor pariwisatanya.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui pengembangan desa wisata.

Pemerintah daerah tentunya memiliki asumsi bahwa melalui pengembangan desa wisata maka, harapan dan tujuan dari pemerataan pembangunan ekonomi daerah Lombok Timur dapat diwujudkan.

Selain itu, melalui desa wisata diharapkan akan menciptakan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan, ujungnya adalah pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Lombok Timur. 

Sampai dengan bulan September 2021, setidaknya terdapat 91 desa di Lombok Timur yang telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) sebagai desa wisata.

Desa wisata memiliki empat klasifikasi, mulai dari rintisan, berkembang, maju, dan mandiri dengan indikator berupa jumlah kunjungan, industri pariwisata yang berkembang, kesiapan keterampilan dan sumber daya manusia (SDM), diversifikasi produk dan aktivitas wisata, serta amenitas pariwisata.

Untuk dapat dikatakan sebagai desa wisata setidaknya harus dapat memenuhi berbagai unsur, antara lain seperti memiliki objek wisata alam, budaya, wisata buatan/ekonomi kreaatif, dan tentunya juga harus didukung oleh adanya atraksi, akomodasi serta berbagai fasilitas penunjang lainnya.

Yang paling penting dari desa wisata adalah adanya unsur kearifan lokal serta partisipasi semua unsur masyarakat.

Meskipun banyak manfaat yang akan diperoleh dari pengembangan dan pembangunan desa wisata namun, Lombok Research Center (LRC) melihat juga terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur didalam pengembangan dan pembangunan desa wisata yang harus menjadi bahan pertimbangan bagi kebijakan yang akan dikeluarkan.

Desa Wisata Dan Tata Ruang 

Seiring dengan terus dilakukannya pengembangan desa wisata di Lombok Timur, tentunya sangat diharapkan akan dapat memberikan pengaruh pada pembangunan ekonomi di Lombok Timur, terutama pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu dampak dari pengembangan desa wisata di Lotim terlihat dari keberadaan usaha akomodasi atau homestay di desa-desa yang menjadi desa wisata.

Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur yang diperoleh melalui https://data.lomboktimurkab.go.id/ (SIPaDat), jumlah homestay di Lombok Timur hingga tahun 2019 sebanyak 87 homestay.

Adanya kegiatan atau aktivitas pariwisata di desa, tentunya juga akan memiliki dampak terhadap masyarakat lokal, baik itu dari aspek sosial budaya, ekonomi, maupun dari aspek tata ruang desa yang terjadi karena adanya kebutuhan, nilai serta keinginan dari masing-masing indvidu didalam menciptakan sebuah ruang  sebagai implikasi dari kesesuaian antara ruang fisik dan ruang sosial.

Menurut Haryadi dan Setiawan (2014), ruang merupakan salah satu komponen arsitektur yang berfungsi sebagai wadah kegiatan manusia.

Manusia dalam kehidupan sehari-hari melakukan berbagai kegiatan yang terkait dalam suatu sistem.

Keterkaitan wadah-wadah dari kegiatan inilah yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari bentuk arsitektur.

Dampak dari ruang fisik yang dapat dilihat antara lain adalah adanya perubahan pada tatanan bentuk bangunan, orientasi bangunan, dan perubahan atau pergeseran fungsi ruang dalam rumah yang dijadikan sebagai homestay.

Perubahan-perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya adaptasi masyarakat dan para pelaku pariwisata di desa dengan lingkungannya didalam upaya memenuhi fungsi dan status sebagai destinasi perdesaan.

Untuk itu, pemerintah kabupaten Lombok TImur harus segera mempertimbangkan suatu kebijakan mengenai tata ruang desa-desa wisata ini.

Hal ini sangat penting mengingat suatu desa wisata, aspek yang paling utama adalah kerapian sehingga, pemerintah desa yang menjadi desa wisata harus memperhatikan pentingnya tata ruang desa wisata.

Untuk itu, pengembangan desa wisata di Lombok Timur sebenarnya tidak harus banyak dari segi jumlah.

Meskipun sedikit namun, pengembangan yang dilakukan dapat fokus dan mencapai hasil yang optimal.

Adapun untuk penataan ruang desa wisata di Lombok Timur, Lombok Research Center (LRC) juga melihat bahwa tidak hanya sebatas pada penataan ruang fisik melainkan harus mengarah kepada upaya-upaya pelestarian alam dan lingkungan.

Sehingga, sangat diperlukan adanya kontrol semua unsur masyarakat yang ada di desa wisata dalam bentuk partisipasi pada perencanaan desa wisata terutama pada aspek perencanaan ruang.

LRC juga melihat bahwa dengan semakin menggeliatnya sektor pariwisata di “Gumi Patuh Karya”, sedikit tidak mampu menarik investor-investor luar didalam membangun desa wisata.

Salah satunya contohnya adalah di wilayah Sembalun dimana, banya bermunculan usaha-usaha homestay atau penginapan yang dari aspek kepemilikannya dimiliki oleh para investor.

David Harvey (2012) menjelaskan bahwa daerah yang diciptakan berbeda melalui produksi simbol-simbol tertentu pada akhirnya akan menarik modal besar untuk berinvestasi yang kemudian mengubah ruang tersebut menuju ke arah yang cendrung lebih seragam.

Sederhananya suatu ruang dirubah sedemikan rupa, termaksud kondisi sosial-ekonominya agar sesuai dengan selera pasar.

Warga terpasifikasi, diajari menanti wisatawan datang membawa uang untuk menggerakkan perekonomian setempat.

Kehadiran investor tersebut tersebut telah berdampak terhadap pola pemanfaatan ruang di dalam desa wisata.

Untuk itu, LRC terus mendorong agar masyarakat juga berperan aktif didalam upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang didalam desa wisata.

Jangan sampai ada penyimpangan dan pelanggaran pemanfaatan ruang yang akan berdampak terhadap degradasi lingkungan, terlebih lagi sebagian besar dari 91 desa wisata di Lombok Timur berada di dalam atau di pinggir kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang menjadi tempat sumber daya air. 

Ancaman Krisis Air

Sebagai daerah yang rawan terahdap bencana kekeringan, pengembangan desa wisata di Lombok Timur tentunya juga harus memperhatikan mengenai adanya potensi krisis air bersih yang akan dihadapi.

Pada tahun 2020 yang lalu, terdapat 14 kecamatan di Lombok Timur yang mengalami krisis air bersih akibat dari musim kemarau yang berkepanjangan.

Adanya potensi krisis air bersih akan menjadi suatu ancaman bagi pengembangan desa-desa wisata di Lombok Timur dan dikhawatirkan akan berdampak terhadap ketidaknyamanan bagi wisatawan yang datang berkunjung.

Ancaman tersebut juga pastinya akan dirasakan oleh masyarakat lokal yang tinggal di desa wisata tersebut, yang apabila tidak segera dicarikan solusinya maka, dikhawatirkan juga akan berimplikasi terhadap keinginan masyarakat untuk melakukan migrasi keluar dari desanya.

Industri pariwisata menciptakan kerentanan, salah satunya, dengan memaksa penataan wilayah sesuai dengan selera wisatawan.

Pariwisata yang memanfaatkan, originalitas, keunggulan atau keunikan suatu wilayah tidak dapat berlangsung selamanya. 

Untuk itu, LRC kembali mengusulkan dan mendorong agar pemerintah Kabupaten Lombok Timur dapat mempertimbangkan keberadaan embung-embung mini didalam setiap desa yang akan berfungsi sebagai penampung suplay air hujan.

Selain itu, keberadaan embung-embung mini ini juga dapat menjadi salah satu daya tarik didalam pengembangan desa wisata di Lombok Timur yang dapat diwujudkan dengan cara penataan pemanfaatan lahan yang rapi dan terintegrasi, terutama terhadap produk wisata yang terdapat dalam desa wisata.

- Advertisement -
Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
120PengikutMengikuti
195PelangganBerlangganan

Latest Articles