Menjaga Marwah Tuan Guru

0
Menjaga Marwah Tuan Guru
Oleh : Mastur Sonsaka

Opini – Unjuk rasa hari buruh pada hari senin tanggal 3 mei yang popular disebut May Day menyisakan kontroversi. Hal ini disebabkan keterlibatan sekelompok orang yang berkostum gamis yang kemudian diasosiasikan sebagai Tuan Guru.

Karena kostum tersebut khas atribut Tuan Guru, sontak para aktivis khususnya yang terlibat aktif dalam aksi unjuk rasa tersebut protes keras terhadap institusi Kepolisian Lombok Timur yang ditengarai sengaja “menggunakan jasa mereka” untuk menghalau massa.

Jika tuduhan para aktifis ini benar, tentu sangat disayangkan. Tuan Guru yang mestinya menjadi lentera penyeru moral dan pembimbing spiritual harus di (ter) jebak dalam laku tak wajar dan fakir etik seperti ini.

Pe (keter) libatan Tuan Guru yang secara fungsional merupakan penjaga moralitas dan spiritualitas ummat menimbulkan kesan bahkan tuduhan tak langsung bahwa aksi unjuk rasa memperingati hari buruh yang rutin digelar setiap tahun itu sebagai gelaran yang amoral dan anti agama.

Sungguh serius konsekwensi perseptual yang ditimbulkan. Dalam konteks ini aparat kepolisian harus diingatkan dengan keras agar jangan sembrono bertindak. Pun juga mereka yang melabelkan diri Tuan Guru tersebut juga mesti dipertanyakan kualitas ketuan guruannya karena terlibat dalam laku tak lazim itu.

Ikut serta terlibat aktif dalam setiap agenda kebangsaan tentu tidak mengenal profesi dan ada larangan, tapi harus ditegaskan bahwa tidak semua profesi bias terlibat dalam semua hal. Berkontribusi dalam agenda kebangsaan juga tentu harus sesuai dengan core profesinya.

Tuan Guru terlibat dalam menghalau masa aksi unjuk rasa adalah kenyataan kontraproduktif dalam agenda pembangunan bangsa. Buruh dan aktifis buruh dijamin oleh undang-undang untuk mengekspresikan hak dan kepentingannya.

Lagi pula gelaran May Day ini sudah menjadi agenda wajib tahunan para buruh dan aktifis buruh dalam ikhtiar mengingatkan pemerintah. Yang benar mestinya para Tuan Guru itu – jika mereka benar-benar Tuan Guru – justru ikut mengingatkan Pemerintah agar serius memperhatikan nasib buruh.

Hal ini ada landasan naqliah yang harusnya menjadi core mereka, yakni sebuah hadist terkenal yang artinya “bayarlah upah mereka sebelum keringatnya kering”.

Seruan moral seperti inilah sesungguhnya yang dibutuhkan kawan-kawan buruh dan aktifis buruh agar core ketuan guruan itu bermakna bagi kemaslahatan ummat, bukan justru terkesan menerima order.

Tidak salah jika kemudian orang berasumsi lalu tak lazim dan fakir etik dari mereka yang mengaku Tuan Guru itu adalah sebentuk orderan. Reputasi sosial atas gelar Tuan Guru mestinya dijaga dalam bentuk sikap dan laku yang objektif dan independen, jauh dari kesan pemanfaatan oleh pihak manapun termasuk kekuasaan.

Tuan Guru sebagai benteng moral dan agama harus ter (di) bebaskan dari kesan bertuan, artinya mereka mesti merdeka dari segala jenis kelompok kepentingan yang bercorak pragmatis.

Insiden May Day tahun 2021 ini tidak boleh terulang lagi kedepan. Posisi terhormat Tuan Guru secara sosio-kultural dalam landscape imajinasi budaya Sasak harus diselamatkan. Sikap laku oknum yang berpotensi mencederai dan mengganggu marwah prestisius Tuan Guru semacam ini harus dikritisi dan dilawan.

No comments

Exit mobile version