barbareto.com | Opini – Sejak sekolah dasar kita semua telah mengetahui bahwa Indonesia adalah negara Agraris. Artinya bahwa negara kita ini sangat tergantung pada pertanian karena mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun, sebut saja saat terjadi bencana baik alam maupun non alam, sektor pertanian masih tetap mampu menjadi penopang perekonomian negara.
Maka, bukan suatu hal yang mengherankan jika sektor pertanian menjadi prioritas pembangunan dengan mengerahkan segala bentuk sumber daya yang dimiliki untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan. Lalu, bagaimana kenyataannya?
Kedaulatan pangan sejatinya adalah harmonisasi antara petani dan pengelolaan lahan agar tetap terjaga. Akan tetapi, program pemerintah selama ini lebih fokus pada kuantitas produksi, tapi abai akan petani yang notabene aktor utama dalam sektor pertanian. Jika mereka tidak sejahtera dengan lahan yang mereka miliki, maka mereka akan berpindah ke sumber ekonomi lainnya. Dengan kata lain, kesejahteraan petani menjadi kunci utama untuk mempertahankan kelangsungan pangan.
Karena jika tidak, maka lahan tersebut akan dengan cepat beralih fungsi. Mengacu pada data kementerian Pertanian, terjadi laju penurunan luas lahan sawah baku sebesar 650.000 hektar atau setara dengan 6,5 juta ton beras. ini mununjukkan bahwa jika alih fungsi lahan ini tidak dikendalikan maka ke depan Indonesia akan mengalami krisis pangan. Sebagai solusinya, Pemerintah telah mentapkan lahan sawah abadi atau Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Hal ini dianggap mampu menekan laju penurunan lahan baku sawah akibat alih fungsi. Namun, lagi-lagi ini belum terealisasi dengan berbagai permasalahan yang menyertainya. Ini baru aspek lahan, lalu bagaimana dengan permodalan, teknologi, manajerial dan pasca panen?? petani kita masih terus berkelindan dengan masalah tersebut.
Di dalam Peraturan Pemerintah tentang Sawah Abadi, insentif terhadap petani juga menjadi salah satu poin pentingnya. Namun demikian, impor produk pertanian terus saja dilakukan dengan dalih sebagai penopang ketersediaan pangan masyarakat. Sehingga sudah seharusnya kebijakan fiskal maupun non fiskal diarahkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan petani. Bagaimana akan berdaulat pangan jika petaninya saja belum berdaulat?.
Baca juga : Selamat Hari Tani Nasional 2021
Ada beberapa strategi yang harus dilakukan untuk mencapai kedaulatan pangan. Yang pertama yaitu menata kembali tata kelola agraria yang menguntungkan bagi masyarakat. Piagam Petani yang dihasilkan dari World Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang dilaksanakan FAO pada tahun 1979, mengartikan Pembaruan Agraria sebagai : “Perubahan prikehidupan dan kegiatan pedesaan dalam semua segi, ekonomi, ocus, budaya, kelembagaan, lingkungan dan kemanusiaan” Usaha ini dicapai melalui jalan sebagai berikut:
- Pembatasan maksimal atas kepemilikan tanah perseorangan.
- Peneguhan kekuatan dasar-ekonomi petani kecil.
- Pengorganisasian perkumpulan petani.
- Dan inovasi dan teknologi.
Dalam tulisannnya, Gunawan Wiradi menjelaskan inti pengertian pembaruan agraria sebagai “suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah (sumber agraria) agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera”.
Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa pokok permasalahan kemiskinan dan kelaparan terletak pada bagaimana alat produksi atau sumber agraria dikelola secara adil untuk kepentingan sebanyak-banyaknya masyarakat.
Pelaksanaan pembaruan agraria mencakup: sistem penguasaan sumber agraria, metode penggarapan dan organisasi pengusahaannya, skala operasi usahanya, sistem sewa menyewa, kelembagaan kredit desa, pemasaran serta pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan keadilan sosial dan produktivitas.
Strategi yang kedua yang harus dilakukan yaitu pertanian berkelanjutan. Ini bisa dilakukan jika semua pihak berkolaborasi. Pertanian berkelanjutan merupakan cara pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Maksud dari Pertanian berkelanjutan yang sebenarnya adalah yang berkelanjutan secara ekonomi yang dicapai dengan: penggunaan ocus yang lebih sedikit, minimalnya jejak ekologi, lebih sedikit barang berkemasan, pembelian ocus yang meluas dengan rantai pasokan pangan singkat, lebih sedikit bahan pangan terproses, kebun komunitas dan kebun rumah yang lebih banyak, dan lain sebagainya.
Pertanian berkelanjutan amat bergantung pada pengembalian nutrisi ke tanah dengan meminimalisasi penggunaan sumber daya alam non-terbarukan seperti gas alam (yang digunakan sebagai bahan baku pupuk) dan mineral (seperti fosfat). Faktor yang paling penting dalam pendayagunaan sumber daya alam di suatu lahan adalah tanah, cahaya matahari, udara, dan air.
Membangun kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan, juga mutlak dilakukan. Agribisnis kerakyatan ini memiliki bentuk, yaitu penyusunan kebijakan pengendalian atas impor pangan, penanggulangan kemiskinan pertanian dan dukungan regenerasi petani, implementasi reforma ocusc, dan pembangunan agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank khusus untuk pertanian, UMKM, dan koperasi.
Dari sisi impor produk pangan, kebijakan pemerintah harus benar-benar ditinjau ulang. Bahkan, stop impor pangan khusus untuk beras, jagung, dan daging sapi. Untuk jagung disebutkan ada tiga program, yaitu :
- Peningkatan produktivitas dari 4,8 ton/ha menjadi 5,6 ton/ha
- Pengembangan bank benih milik rakyat tani untuk daulat benih.
- Pengembangan pupuk ocus untuk daulat pupuk.
Sementara, untuk sapi adalah membangun agroekologi dan peningkatan kapasitas peternakan rakyat.
Stop impor pangan khusus untuk komoditas kedelai, bawang merah, dan cabai merah. Terbaca dengan jelas bahwa khusus untuk kedelai ada tiga pilihan kebijakan, yaitu:
- Peningkatan produksi dari 1,46 ton/ha menjadi 2,3 ton/ha.
- Pemerintah menjamin harga yang menguntungkan untuk petani
- Mendorong pengembangan bank benih kedelai di tiap kelompok tani.
Sedangkan untuk bawang merah ada dua hal, yaitu pemerintah menjamin produksi benih dan mendorong peningkatan produksi dari 10,1 menjadi 11 ton/ha. Khusus untuk cabai merah juga ada dua hal, yaitu peningkatan produktivitas cabai sebesar rata-rata 0,078 ton/ha, yakni dari 6,84 ton/ha menjadi 6,918 ton/ha, dan pemerintah menjamin harga yang menguntungkan untuk petani cabai.
Selanjutnya penanggulangan kemiskinan pertanian dan regenerasi petani, berupa empat solusi, yaitu (a) seribu desa berdaulat benih hingga tahun 2019, (b) peningkatan kemampuan organisasi petani dan pelibatan aktif perempuan petani sebagai tulang punggung kedaulatan pangan, (c) rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak pada 3 juta ha pertanian, dan (d) dukungan regenerasi petani muda Indonesia.
Bagaimana di NTB?
Di tahun 2021 ini, petani di Nusa tenggara Barat (NTB) menghadapi tahun yang cukup memberatkan. Selain terkena dampak pandemic Covid-19, permasalahan teknis dibidang pertanian juga dihadapi di tahun ini.
Di beberapa laman media online, beberapa bulan ini kita disuguhkan oleh permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. Yang notabene menjadi sektor unggulan bagi NTB dalam menghasilkan pundi-pundi pendapatan daerah. Dari data yang ada tahun 2021 ini, NTB kecipratan anggaran bagi hasil cukai dari pemerintah pusat lebih dari 300 miliar.
Ini sangat berbeda jauh dengan nasib yang dialami oleh petani tembakau. Sebut saja, diawal masa tanam. Petani tembakau diberi cobaan dengan hujan yang membuat tanaman layu. Puluhan hektar tanaman tembakau petani menjadi layu akibat hujan di awal musim tanam.
Belum kering luka di awal musim tanam, petani dihadapkan lagi dengan gejolak harga yang sangat merugikan petani. Bahkan Dinas Pertanian provinsi langsung membuat satgas dalam menghadapi gejolak harga ini.
Tidak hanya komoditi tembakau, di tahun ini semua komoditi pertanian sedang pada masa masa terendahnya. Sebut saja cabai, nanas, timun dan lain-lain.
Bahkan dua minggu ini peternak ayam petelur pun hampir mengalami gulung tikar dikarenakan harga telur yang anjlok. Sehingga membuat beberapa kelompok peternak sampai berani melakukan penghadangan truk yang membawa telur dari luar daerah.
Pembangunan pertanian di NTB selama ini terkesan masih focus pada aspek peningkatan kuantitas produksi. Sebagai contoh adalah tanaman Jagung. Pada tahun 2014 indeks produksi produksi padi NTB yang mengalami peningkatan. Produksi padi NTB pada 2018 mencapai 2,423,285 ton meningkat 4,29 persen dari tahun 2017 sebanyak 2,323,701. Capaian fantastis adalah produksi jagung dalam lima tahun terakhir, dimana pada 2014 produksi jagung NTB mencapai 785,864 ton yang kemudian meningkat sangat pesat pada 2018 mencapai produksi 2,059,222 ton (Kementerian Pertanian, 2019).
Peningkatan produksi jagung di NTB ini dapat terjadi karena pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat telah menggalakkan program penanaman jagung dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan adanya bantuan bibit dan pupuk serta harga jagung yang bagus membuat petani berlomba menanam jagung. Serta jangan lupa kebijakan pemerintah melalui program cetak sawah baru juga berkontribusi terhadap peningkatan produksi jagung di NTB.
Walaupun kuantitas produksi sebagai sesuatu yang perlu diprioritaskan dapat dipahami, pendekatan ini menutup peluang pengembangan aspek-aspek kreatif yang lebih terkait dengan sisi kualitas produk. Padahal peningkatan kualitas produk secara netto berpotensi meningkatkan nilai rupiah produk.
Kedepannya pemerintah daerah di seluruh wilayah NTB juga perlu melakukan inovasi dan kreasi kebijakan terkait dengan pertanian secara utuh. Dari hulu sampai hilir. Dari sisi input sampai sisi out putnya. Dan program yang dijalankan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Ini semata mata hanya untuk kesejahtraan petani dan masyarakat NTB secara umum. Agar mimpi-mimpi petani di Negara agraris muncul dari Daerah gogo Rancah ini.
Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)