27.2 C
Lombok
Jumat, November 22, 2024

Buy now

Seberapa Penting KIHT di NTB?

barbareto.com | Kawasan Industry Hasil Tembakau (KIHT) merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan yang dilengkapi prasarana, sarana, serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau yang disediakan, dikembangkan, dan dikelola, oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau.

Ketentuan mengenai KIHT tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.04/2020. Berdasarkan peraturan tersebut kawasan industri hasil tembakau (KIHT) adalah kawasan yang dijadikan sebagai tempat pemusatan kegiatan industri hasil tembakau.

Sebagai kawasan pemusatan kegiatan industri, KIHT dilengkapi prasarana, sarana serta fasilitas penunjang industri hasil tembakau. KIHT disediakan, dikembangkan, dan dikelola, oleh pengusaha kawasan industri hasil tembakau atau disebut juga dengan pengusaha kawasan.

Pengusaha kawasan merupakan badan usaha berbentuk badan hukum Indonesia yang mengusahakan KIHT.  Merujuk Pasal 2 ayat (1) PMK 21/2020, pembentukan KIHT ditujukan untuk meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang cukai serta perekonomian daerah.

KIHT sendiri diperuntukan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan menengah. Pengertian industri kecil dan menengah dalam beleid ini merujuk pada ketentuan yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Adapun ketentuan klasifikasi industri kecil dan menengah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No.64/2016. Berdasarkan permenperin ini klasifikasi industri kecil menengah disusun berdasarkan nilai investasi dan jumlah tenaga kerja.

Secara lebih terperinci, Permenperin No.64/2016 menjabarkan industri kecil adalah industri dengan nilai investasi di bawah Rp1 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan) dan jumlah  tenaga kerja paling banyak 19 orang.

Sementara itu, industri menengah adalah industri dengan nilai investasi minimal Rp1 miliar dan jumlah tenaga kerja paling banyak 19 orang atau industri dengan nilai investasi maksimal Rp15 miliar dan jumlah tenaga kerja minimal 20 orang.

Hal ini berarti klasifikasi IKM dalam ketentuan KIHT berbeda dengan kriteria UMKM dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2018, pengusaha kecil dalam pajak pertambahan nilai (PPN), maupun kriteria UMKM yang disusun berdasarkan aset dan omzet dalam Undang-Undang No.20/2008.

Seberapa Penting KIHT Bagi Petani Tembakau NTB

Tembakau menjadi sebuah komoditi unggulan petani di wilayah Lombok dan Sumbawa. Secara historis tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity) sejak pemerintahan Hindia Belanda. Pulau Lombok, merupakan salah satu daerah penghasil tembakau sejak tahun 1980 an. 

Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk yang bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan para petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok).

Namun semenjak tahun 2000an banyak petani yang sudah mulai mencoba mengganti komoditi ini menjadi komoditi yang lebih menguntungkan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, luasan lahan tanaman tembakau Virginia turun dari 27.521 hektar tahun 2019 turun menjadi 24. 972 hektar. Hal ini berbanding terbalik dengan luasan lahan tanaman tembakau rakyat/Rajang juga mengalami peningkatan dari 8.660 hektar tahun 2019 turun menjadi 9.236 hektar.

Petani sebagai mata rantai awal sekaligus produsen, dianggap tidak memiliki posisi tawar. Keresahan petani terletak pada penentuan harga jual produksi (Rachmad 2015). Kos produksi merupakan kos yang diperlukan untuk memperoleh bahan baku (mentah) dan mengubahnya menjadi produk selesai yang siap jual (Sugiri 2009).

Baca Juga :  Polda NTB Tangkap Empat Pelaku Begal

Baca juga : Pembangunan KIHT di Bekas Pasar Paok Motong Direncanakan Mulai Tahun 2022

Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa kos produksi adalah kos yang dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan produk. Hal ini seperti ditegaskan pula oleh Suwardjono (2016); Samryn (2013) serta The dan Sugiono (2015) bahwa kos produksi terpusat pada perolehan bahan baku sampai produk terjual.

Penjelasan kos produksi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang menentukan kos produksi tersebut. Namun, kos produksi untuk tanaman tembakau petani juga menentukan. Mengapa demikian? Pertanian tembakau memiliki sejumlah risiko yang mempengaruhi kos produksi, antara lain risiko perubahan cuaca, risiko perubahan harga, risiko hama tanaman dan risiko hilangnya permintaan.

Melihat beberapa hal diatas, Pemerintah daerah berencana untuk membangun KIHT sebagai salah satu solusi permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. KIHT ini diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi Lombok Timur dan NTB. Selain itu, KIHT juga merupakan bagian program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). 

Pembangunan Industri Hasil Tembakau di kabupaten Lombok Timur ini rencananya dimulai 2022. Bupati Lombok Timur H.M.Sukiman Azmy telah menandatangani persetujuan terkait hal tersebut pada tanggal 28 Oktober 2021 yang lalu, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Bupati No: 188.45/476/2021 tentang Izin Pinjam Pakai Tanah Lokasi KIHT pada Lahan Eks  Pasar Paok Motong.

KIHT Untuk Siapa?

Selain permasalahan di input pertanian. Bisnis pertanian tembakau juga memiliki permasalahan pada pasca produksi. Kualitas hasil produksi dan masalah harga selalu muncul setiap tahun. Permsalahan harga akan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi petani tembakau.

Pasar tembakau adalah bersifat oligopsoni, artinya mekanisme penentuan harga ditentukan oleh industri. Di samping kedua aspek ini juga akibat fluktuasi harga besar dan cenderung tidak menentu. Kondisi ini menyebabkan petani menghadapi berbagai permasalahan dari hulu ke hilir pada penentuan kos produksi yang tinggi atas biaya penanaman dan padat modal, risiko kesehatan akibat proses penanaman tembakau dan timpangnya tata niaga yang meniadakan standar harga dan kepastian usaha, serta perubahan iklim dan anomali cuaca. 

Hal ini mengakibatkan risiko kerugian. Selanjutnya, aspek kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag)), yaitu ketika Kementan berupaya meningkatkan kualitas dan produksi pertanian tembakau. Kemendag ini berwenang pada urusan ekspor-impor justru tidak melakukan pembatasan impor tembakau. Permintaan produk tembakau yang terus meningkat kemudian ditutup oleh impor. 

Hasilnya, permintaan tinggi tidak berkorelasi positif dengan nasib petani tembakau. Mereka tidak menikmati keuntungan yang maksimal dari situasi tersebut. Mekanisme pasar di atas merupakan penjelasan nyata kondisi petani tembakau yang menghadapi paradoks ganda kos produksi (dual paradox of production cost). 

Di satu sisi, industri tembakau menikmati keuntungan melimpah akibat konsumsi rokok yang terus meningkat, namun di sisi lain kehidupan petani tembakau yang memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan industri tembakau justru tidak menikmati keuntungan sebanding. Penelitian ini berupaya memberikan bukti dan penjelasan tentang paradoks ganda kos produksi tersebut, sehingga dapat memberikan solusi yang mampu memperbaiki kehidupan petani tembakau di NTB. 

Baca Juga :  Shalahuddin Ketua PBB Bali: Pemerintah Harus Sediakan Tunjangan Tambahan Bagi Nakes Yang Terpapar Covid-19

KIHT dihajatkan untuk memberikan nilai tambah bagi hasil produksi petani. Dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membangun KIHT ini, diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi hasil produksi petani tembakau di NTB.

Dana yang dialokasikan untuk pembangunan KIHT sebesar Rp. 31.779.831.000 milyar. Dana tersebut diperuntukkan membangun fasilitas pendukung seperti gudang, showroom, bea cukai, laboratorium uji nikotin, musholla, kantin, klinik kesehatan, hingga jalan dan area parkir. Dana ini bersumber dari dana Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2021, dana DBH CHT untuk NTB sebesar Rp 318.716.620.000. peruntukan dana ini harus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 206/PMK.07/2020. 

Setidaknya terdapat lima kualifikasi yang jadi dasar penggunaan dana sumber cukai tersebut, diantaranya : Peningkatan kualitas bahan baku pembuatan rokok, Pembinaan industri industri rokok yang ada di daerah, Pembinaan lingkungan sosial untuk meminimalisir dampak sosial dari produksi, Sosialisasi ketentuan bea cukai agar masyarakat paham norma norma terlarang dan Pemberantasan barang kena cukai illegal dalam arti rokok tanpa izin.

Melihat begitu besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk proyek KIHT ini, membuat pertanyaan yang culup serius dari penulis. Sejauh mana anggaran yang besar untuk proyek KIHT ini memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan nilai tambah hasil produksi tembakau petani?.

Atau jangan sampai KIHT ini hanya memberikan nilai tambah bagi segelintir pengusaha yang bergerak di sector pengolahan hasil dan demi peningkatan pendapatan asli dearah (PAD) di sector cukai tentunya.

Karena sampai saat ini, hasil kajian dari Lombok Research Center (LRC), banyak bangunan-bangunan proyek ambisius dalam bidang pertanian yang menelan biaya puluhan milyar terbengkalai dan hanya menjadi rumah kosong. Sebagai contoh bangunan Pusat Agribisnis di Paokmotong, Bangunan Pusat pergudangan jagung di Pringgabaya, bangunan pusat Hortikultura di Kediri dan masih banyak yang lainnya.

Jika dilihat dari rincian beberapa item bangunan KIHT yang dibuat, tidak sampai 10 persen produksi tembakau akan mampu diolah di KIHT yang dibangun ini dalam satu tahun. Produksi tembakau Virginia di NTB dalam setahun menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB bisa mencapai 50 ribu ton. Itu pun belum produksi tembakau rakyat/rajangan.

Sehingga mudah-mudahan KIHT ini bisa mengakomodir kepentingan petani melalui peningkatan nilai tambah. Dan jangan sampai KIHT ini hanya sekedar proyek ambisius dari pemerintah daerah yang berdasar kepada proyek latah (ikut-ikutan) daerah lain yang telah membangun KIHT. Dan sampai sekarang belum ada studi yang menunjukkan bahwa KIHT ini mampu memberikan peningkatan pendapatan nilai tambah bagi petani secara langsung.

Semoga, apa yang dihajatkan ini benar-benar untuk petani. Dan sekali lagi penulis mengharapkan bahwa, jangan sampai petani tembakau hanya dijadikan sebuah komoditi politik menjelasng pemilihan saja. Mari kita membangun demi kesejahteraan masyarakat kita demi NTB GEMILANG.

Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)

Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
344PengikutMengikuti
112PengikutMengikuti
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img
Iklan Berbayarspot_img

Latest Articles