barbareto.com | Kalangan DPRD NTB menyilakan jika ada pihak yang ingin men-tracking program di APBD yang merupakan Pokok-pokok Pikiran (Pokir) para wakil rakyat. Pada saat yang sama, para wakil rakyat juga akan focus melakukan tracking terhadap seluruh dana direktif dalam postur APBD NTB.
“Ayo kita tracking. Program dalam APBD yang merupakan Pokir dari 65 Anggota DPRD NTB itu jika ditotal nilainya hanya Rp 300 miliar setahun. Sementara dana program direktif itu nilainya bisa tiga hingga empat kali lipatnya,” tandas Anggota DPRD NTB H Ruslan Turmuzi di Mataram, Ahad (30/1).
Ruslan menegaskan hal tersebut saat dikonfirmasi terkait langkah sejumlah pihak yang menyebut alokasi anggaran Program Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD NTB sebagai penyebab timbulnya utang Pemprov NTB yang menggunung. Karena itu, politisi senior asal Lombok Tengah ini tak keberatan sama sekali seluruh dana Pokir DPRD NTB di tracking. Perlakuan yang sama harus dilakukan untuk seluruh dana direktif.
NTB sendiri kini memang sedang dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik mengingat tak kurang dari Rp 300 miliar belanja di APBD NTB tahun 2021 tak bisa dibayarkan kepada pelaksana program. Dengan kata lain, Pemprov NTB berutang pada kontraktor yang telah menuntaskan pekerjaan. Hal ini kemudian ramai menjadi perhatian publik dan menjadi berbagai bahan gunjingan. Namun, sejumlah pihak menyebut utang tersebut karena andil program dalam APBD yang diusulkan dari Pokir DPRD NTB.
Ruslan menegaskan, tracking seluruh dana program Pokir dan seluruh dana dari program direktif tersebut akan membuka mata publik terhadap bagaimana keuangan dalam APBD NTB dikelola. Dengan begitu, masyarakat NTB akan mendapat pemahaman utuh.
Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan, program Pokir dari para Anggota DPRD memiliki landasan hukum yang kokoh. Dengan kata lain, Pokir memang telah diamanatkan dalam Undang-Undang.
Aturan yang menjadi inspirasi atau semangat Pokir di antaranya UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Di pasal 29 UU ini disebutkan DPRD mempunyai sejumlah fungsi. Selain fungsi pembuat Perda dan pengawasan, ada juga fungsi anggaran. Dan di pasal 104 secara terang benderang disebutkan bila DPRD memiliki kewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat.
“Jadi itu adalah bagian dari sumpah atau janji yang harus kami jalankan sebagai anggota dewan,” tandas Ruslan.
Selama aspirasi yang timbul di tengah masyarakat mengarah ke kepentingan daerah, kepentingan bangsa, dan negara, maka anggota dewan wajib memperjuangkannya.
“Justru kalau kami tidak memperjuangkannya, sama artinya kami mengkhianati sumpah/janji. Sama artinya kami mengkhianati rakyat,” katanya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 butir (i) UU 23/2014, menyerap aspirasi masyarakat adalah sebuah keharusan bagi setiap Anggota DPRD. UU ini bahkan lebih eksplisit menyebut aspirasi itu dapat dihimpun melalui konstituen. Melalui kunjungan kerja secara berkala.
Tidak hanya menampung, UU juga mengamanatkan atau mewajibkan agar aspirasi itu ditindaklanjuti. Tidak boleh dianggurkan apalagi disepelekan.
Dalam aturan lainnya, di Peraturan Pemerintah No 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam pasal 54 bahkan kata Ruslan, secara terang mengamanatkan atau memerintahkan Badan Anggaran DPRD harus memberikan saran dan pendapat berupa pokok pikiran DPRD.
Banggar diharuskan langsung memberikan saran kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD. Sebelum Peraturan Kepala Daerah tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) ditetapkan.
“Ini persis sama dengan bunyi pasal 77 Peraturan DPRD Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib DPRD Provinsi NTB,” ungkapnya.
Baca juga : H. Najam : Jangan Gunakan APBD Sembarangan
Pokir tersebut disampaikan sebelum penetapan Perkada RKPD dan lazimnya disampaikan pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang. Berdasarkan Permendagri No 86/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dalam Pasal 78 Ayat 2 dijelaskan secara gambling dalam penyusunan Rancangan Awal RKPD, DPRD memberikan saran dan pendapat berupa Pokir DPRD. Pokir itu harus dilandasi hasil reses atau penjaringan aspirasi masyarakat.
“Wujudnya itu itu harus dijadikan rumusan kegiatan, lokasi kegiatan, dan kelompok sasaran yang selaras dengan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang RPJMD,” kata Ruslan.
Karena itu, Ruslan menegaskan, Undang-Undang lah yang mengamanatkan Pokir tersebut, dan menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap wakil rakyat. Namun, sebagai bagian dari program dalam APBD, Pokir tersebut bukanlan dijalankan oleh anggota dewan. Melainkan langsung oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
Program Direktif
Di sisi lain, Ruslan menegaskan, selain program dana Pokir dalam APBD yang kini diframing sejumlah pihak, ada juga program yang berasal dari direktif. Direktif yang dimaksud di sini bersumber dari kepala daerah. Program-program direktif tersebut kata Ruslan tersebar di seluruh OPD. Dalam praktiknya, usulan program direktif ini bahkan banyak yang tidak terkait langsung dengan RPJMD, namun menjadi hal yang justru wajib dijalankan.
Ruslan pun mengungkap modusnya. Yakni dengan mencantolkan program-program tersebut sebagai bagian dari penajaman RPJMD. Namun sebenarnya tidak begitu dalam kenyataan. Parahnya, dengan modus direktif, anggaran daerah yang besar justru digunakan untuk membiayai hal yang bukan menjadi urusan Pemerintah Provinsi seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah.
Sejumlah contoh pun diuraikan Anggota DPRD NTB lima periode ini. Misalnya anggaran besar untuk program Zero Waste dengan dana belasan miliar setahun. Urusan sampah sama sekali bukanlah urusan Pemprov NTB. Melainkan menjadi urusan wajib kabupaten/kota. Ada juga program beasiswa yang menelan anggaran puluhan miliar. Juga bukan urusan Pemerintah Provinsi. Tahun lalu, kata Ruslan, program ini bahkan bertabur sejumlah temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan.
Ada pula anggaran miliaran untuk pembangunan jalan Batu Rotok di Sumbawa. Yang mana jalan tersebut bukanlah jalan provinsi sehingga Pemprov NTB membelanjakan anggaran untuk yang bukan kewenangannya.
Dalam modus lainnya, Ruslan juga menguraikan contoh lain. Misalnya di Dinas Perhubungan NTB. Dinas ini mengelola dana Rp 11 miliar di luar biaya rutin seperti gaji. Namun, lebih dari separo dana tersebut untuk membiayai program direktif. Salah satunya misalnya ada program penerangan jalan umum untuk jalan provinsi. Namun, saat ditelisik lebih mendalam, penerangan jalan umum yang dimaksud antara lain adalah untuk jalan di dalam area kampus Universitas Teknologi Sumbawa.
“Penerangan jalan di dalam area kampus. Boro-boro statusnya jalan provinsi. Jalan kabupaten saja bukan,” kata Ruslan.
Penelusuran lain juga dilakukan di Dinas Perumahan dan Permukiman NTB. Ada program direktif yang nilainya pembiayaannya jika ditotal lebih dari Rp 100 miliar. Peruntukannnya macam-macam. Namun yang mencolok adalah pembangunan sejumlah fasilitas di dalam area proyek properti komersial milik sejumlah pengembang.
“Nama-nama dan rincian pengembangnya juga ada pada kami di dewan,” kata Ruslan.
Baca juga : Sosialisasi Perda, Ruslan Turmuzi: Pelaku Ekonomi Kreatif di NTB Akan Dibantu Pemerintah
Tentu saja tak hanya hal-hal tersebut di atas. Masih banyak pula kata Ruslan keganjilan-keganjilan lain yang terkait program Direktif ini sehingga jika seluruh program pembiayaan dari direktif ini ditracking bersamaan dengan tracking program dana Pokir dari DPRD NTB, maka hal tersebut akan dapat membuka mata publik, bagaimana keuangan daerah dikelola selama ini.
Belum lagi jika berkaca pada sejumlah program milik Pemprov NTB yang kini justru telah dilaporkan ke aparat penegak hukum oleh sejumlah kelompok masyarakat. Seperti misalnya program irigasi tetes di Lombok Utara dan di Sumbawa yang nilainya lebih dari Rp 25 miliar, namun kini kondisinya dilaporkan justru mangkrak. Atau juga kata Ruslan, program bantuan sapi di akhir tahun.
Karena itu, Ruslan mengemukakan saat ini, banyak informasi berkembang di masyarakat terkait berbagai dugaan yang mengarah pada pelanggaran hukum. Ruslan pun yakin sepenuhnya, aparat penegak hukum kini sudah menjadikan hal tersebut sebagai perhtaian.
“Berkaca pada periode sebelumnya, dalam beberapa kasus, para penyelidik meminta keterangan dari kami di DPRD NTB untuk mengurai dan memperjelas sejumlah hal yang terkait dengan program-program yang menurut mereka memiliki indikasi tindak pidana korupsi di dalamnya,” kata Ruslan.
Sebagai warga negara yang taat pada hukum, Ruslan pun yakin, jika ada wakil rakyat yang dibutuhkan keterangannya, maka hal tersebut akan dipenuhi untuk memberi informasi sejelas-jelasnya.
Dukungan Badan Kehormatan
Sementara itu, dukungan agar dana program Pokir dan seluruh dana program direktif ini di-tracking tak hanya datang dari Ruslan. Hal serupa juga disampaikan Anggota Fraksi PAN DPRD NTB TGH Najamudin Moestafa.
“Tracking ini juga bagian dari akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah,” tandas TGH Najamuddin.
Ketua Badan Kehormatan DPRD NTB ini juga menegaskan, program Pokir DPRD NTB itu clear. Dia menambahkan, di pasal 178 Permendagri No 86/2017 Pokir Anggota DPRD dibahas dengan sangat gamblang.
“Itu menjadi pedoman oleh setiap anggota dewan dalam pelaksanaannya,” tandasnya.
Pada ayat 1 penelaahan Pokir DPRD sebagaimana dimaksud Pasal 153 huruf k merupakan kajian permasalahan pembangunan Daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.
Lalu di ayat 2, Pokir disebut harus diselaraskan dengan sasaran dan prioritas pembangunan serta ketersediaan kapasitas riil anggaran. Berikutnya lagi di ayat 3 risalah rapat yang dimaksud pasal 1 adalah dokumen yang tersedia sampai dengan saat rancangan awal disusun dan dokumen tahun sebelumnya yang belum ditelaah.
“Setelah itu di ayat 4 dijelaskan Pokir harus dirumuskan dalam daftar permasalahan pembangunan yang ditandatangani oleh pimpinan DPRD,” imbuhnya.
Sesuai pasal 5 dalam Permendagri, Pokir harus disampaikan paling lambat satu pekan sebelum Musrenbang RKPD dilaksanakan. Jika pun ada yang disampaikan melewati batas waktu tersebut, maka hal tersebut diatur mekanismenya menjadi bahan masukan pada penyusunan perubahan RKPD pada perubahan APBD di tahun anggaran berjalan.
Lagi pula, anggota dewan kata TGH Najam bukanlah pihak yang menjalankan program Pokir tersebut. Melainkan OPD terkait. Jika pun ada keterlibatan anggota dewan, hal tersebut hanya sebatas menjalankan tugas pokok dan fungsi mengawal agar pelaksanaan program yang diusulkan berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan harapan konstituen yang mereka wakili.
“Dukungan kami seribu persen program Pokir ini di-tracking. Perlakuan yang sama juga harus kita lakukan untuk men-tracking seluruh dana-dana program yang bersumber dari direktif yang tersebar di seluruh OPD,” tandas TGH Najam.