BerandaOpiniRitual Selamatan yang Tidak Menyelamatkan

Ritual Selamatan yang Tidak Menyelamatkan

BARBARETO.com – Pada hari minggu tanggal 18 desember yang lalu, penulis diundang untuk mengikuti sebuah acara ritual budaya yang bernama ‘Tunas Nede”. Acara ritual ini memiliki filosofi untuk meminta “rede” atau meminta restu kepada sang maha pencipta. Acara ini dilaksanakan di awal musim tanam setiap tahunnya. Selain mengucapkan rasa syukur atas nikmat berlimpah dari hasil tanam periode yang lalu, ritual ini juga dimaksud untuk meminta kepada sang Maha Pencipta agar ditiadakannya musibah hama dan penyakit bagi tanaman untuk musim tanam berikutnya.

Ritual ini juga memiliki rangkaian kegiatan di 7 sumber mata air di sekitar desa tersebut. Prinsipnya bahwa mata air merupakan sumber kehidupan sehingga keberadaannya harus dilestarikan. Acara Ritual tersebut juga dihadiri oleh beberapa pejabat daerah dan politisi. Bahkan dalam sambutannya, salah satu pejabat daerah mengatakan bahwa Leluhur kita memiliki banyak sekali kegiatan ritual adat, khususnya yang terkait dengan penyelamatan lingkungan terutama penyelamatan mata air. Dimulai dari daerah yang paling tinggi di pulau ini ada ritual adat yang sering kita kenal bernama “Ngayu-Ayu”. Kegiatan ini pun memiliki filosofi penyelamatan lingkungan dan penyelamatan mata air. Kita mencoba turun ke bawah sedikit di ujung timur pulau ini, kita akan menemukan ritual adat yang bernama “Selamatan Otak Reban”. Pun kegiatan ini memiliki makna penyelamatan lingkungan dan penyelamatan mata air.

Dan jika kita terus gali lagi, di setiap desa akan kita temukan kegiatan ritual adat yang memiliki makna penyelamatan lingkungan dan penyelamatan mata air. Melihat hal tersebut, kita akan menemukan bahwa nenek moyang kita hidup dengan memiliki prinsip selaras dengan alam. Ini terbukti dengan banyaknya ritual yang ditinggalkan sampai saat ini. Nenek moyang kita mengetahui betapa pentingnya lingkungan dan air dalam kehidupan.

Nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan beragam kearifan lokal yang dipakai sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan. Secara empiris kearifan lokal tersebut seharusnya akan berhasil mencegah kerusakan fungsi lingkungan, baik tanah/lahan, hutan, maupun air. Namun mengapa semakin banyaknya ritual adat selamatan yang kita lakukan tidak mampu mengurangi kerusakan lingkungan yang terjadi?. Akibatnya sumberdaya alam tidak lagi terpelihara dengan baik, lahan dan hutan rusak, mata air banyak yang mati.

Padahal kita ketahun bersama air merupakan kebutuhan paling esensial bagi makluk hidup Kekurangan air manusia, hewan, dan tumbuhan akan terganggu pertumbuhan, kesehatan, dan produktivitasnya, bahkan akan mati (Manik, 2009).

Mata air adalah sebuah keadaan alami di mana air tanah mengalir keluar dari akuifer menujupermukaan tanah. Mata air merupakan bagian dari hidrosfer. Mata air dapat terjadi karena air permukaan meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah. Air tanah kemudian mengalir melalui retakan dan celah di dalam tanah yang dapat berupa celah kecil sampai gua bawah tanah. Air tersebut pada akhirnya akan menyembur keluar dari bawah tanah menuju permukaan dalam bentuk mata air. Keluarnya air menuju permukaan tanah, dapat merupakan akibat dari akuifer terbatas, di mana permukaan air tanah berada di elevasi yang lebih tinggi dari tempat keluar air.

Baca Juga :  Konsolidasi Bakal Capres PDIP Ganjar Pranowo, Lautan Merah Banjiri Lapangan Nasional Lombok Timur

Tipe mata air bergantung dengan asupan sumber air seperti hujan atau lelehan salju yang meresap ke dalam tanah, sebuah mata air dapat bersifat ephemeral (intermitten atau kadang-kadang) atau perennial (terus-menerus). Kawasan resapan air dinilai sangat penting dalam melestarikan sumber daya air tanah maupun untuk menciptakan keseimbangan tata air, baik air permukaan maupun air resapan yang masuk ke dalam tanah. Kelestarian dan keseimbangan sumber daya air yang tercakup didalamnya dalam hal ini baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya tergantung pada terjaminnya keberlangsungan siklus hidrologi yang memadai di kawasan tersebut (Anonim, 2016).

Ritual Selamatan yang Tidak Menyelamatkan
Peta bencana NTB 2022

Hal lain yang membuat kawasan resapan air ini penting disebabkan aliran air sangat tergantung oleh kondisi tata guna lahan dipermukaan, bila tidak ada yang bisa meresap dan daerah yang bisa menahan laju aliran maka pada waktu hujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada waktu musim kemarau karena tidak ada lagi hujan maka keberadaan air di suatu tempat tergantung dari kuantitas dan kualitas resapan dan penahan air pada waktu musim penghujan. Dengan resapan maupun penahan air yang baik dan optimal maka kebutuhan air dapat terpenuhi di musim kemarau karena masih ada air yang tertampung atau tertinggal (Kodoatie dan Syarif, 2005:2)

Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, kearifan lokal yang terbukti secara efektif mencegah kerusakan fungsi lingkungan, perlu digali, dikaji, dan dikembangkan. Kearifan lokal yang sering dikonsepsikan sebagai pengetahuan setempat (local knowledge), kecerdasan setempat (local genius), dan kebijakan setempat (local wisdom), oleh Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimaknai sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat yang antara lain dipakai untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Lombok Research Center (LRC) bahwa jumlah mata air yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) selama kurun waktu lima tahun terakhir mengalami pengurangan sampai 40 persen lebih. Hal ini dipertegas oleh data yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB dari 700an Jumlah mata air yang ada sampai saat ini sudah hilang 300an lebih. Artinya hampir 50% mata air yang ada di NTB ini sudah menghilang.

Bencana Terus Mengintai

Baca Juga :  Si Seksi Berliana Lovel Pertanyakan Kenapa Cowok Suka Masturbasi

Setiap tahun daerah kita Nusa Tenggara Barat (NTB) secara umum dan pulau Lombok secara khusus menghadapi bencana. Setiap musim penghujan kita akan disuguhkan dengan informasi terkait dengan bencana banjir maupun tanah longsor. Pun begitu juga setiap musim kemarau kita akan banyak sekali melihat desa-desa yang mengalami kekurangan air.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Pada periode 1 Januari – 05 Desember 2022 telah terjadi bencana alam sebanyak 81 kejadian. Dari jumlah tersebut, bencana yang paling sering terjadi yaitu bencana banjir/banjir bandang dengan 40 kejadian, kemudian angin puting beliung 21 kejadian, kekeringan 9 kejadian, tanah longsor 8 kejadian, dan banjir rob 3 kejadian.

Dengan begitu bantyaknya bencana yang terjadi mengakibatkan kerugian secara material maupun non material. Sebanyak 25.839 orang terdampak dan 2 orang meinggal. Sedangkan kerusakan yang ditimbulkan yaitu sebanyak 535 rumah rusak, 61 rusak berat, 192 rusak sedang dan 283 rusak ringan.

Melihat begitu banyaknya kejadian bencana yang terjadi dan sebanding dengan peningkatan acara ritual selamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pola pikir kita terkait dengan filosofi ritual selamatan. Kita tidak untuk melihat benar salah, namun kita akan melihat dari sudut filosofi ritual yang dilakukan tidak diimplementasikan dengan tingkah laku kita. Atau kegiatan ritual selamatan yang dilakukan hanya sekedar event untuk menarik pelancong dan wisatawan saja. Hal ini perlu menjadi sebuah renungan kita bersama untuk lebih menselaraskan pola fikir dan kegiatan yang dilakukan dengan tingkah laku kita sehari hari.

Tidak hanya berkaitan dengan pola hubungan dengan sang pencipta saja, pola hubungan dengan sesama manusia dan pola hubungan dengan alam pun harus kita evaluasi. Demi untuk keselarasan dan keberlanjutan alam kita nantinya. Karena alam ini merupakan titipan anak cucu kita. Mereka berhak untuk mendapatkan lingkungan yang lestari untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih baik.

Kita tidak akan mungkin menghentikan ritual selamatan yang dilakukan karena hal ini pun berkaitan dengan keyakinan dari masing-masing yang melaksanakan. Namun, yang bisa diubah ada tingkah laku kita. Kita harus menselaraskan kegiatan ritual dengan tingkah laku kita dalam menjaga alam ini. Sebut saja jangan membuang sampah sembarangan, memelihara daerah aliran sungai atau pun melestarikan mata air dengan cara menanam tanaman dan jangan membangun di tempat-tempat yang produktif atau tempat-tempat yang dijadikan sebagai daerah tangkapan air.

Hal ini memang membutuhkan kerja bersama. Baik pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh agama maupun masyarakat yang lebih luas. Kita jadikan gerakan ini dari diri kita baru ke yang lebih luas lagi dalam bentuk gerakan bersama. Dan harus dimulai dari sekarang. (Maharani, Peneliti LRC)

Follow kami di Google News

Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi
RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments