BARBARETO.com – Mataram. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram melakukan audiensi dengan Kapolresta Mataram, Kombes Pol. Mustofa, Sabtu 26 November 2022.
Kehadiran AJI Mataram bersama sejumlah jurnalis itu buntut dari kasus dugaan intimidasi yang dialami tiga jurnalis yang memberitakan dugaan pungutan liar (pungli) oknum di Satuan Lalulintas Polresta Mataram.
Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) AJI Mataram yang juga Pemimpin Redaksi (Pemred) ntbsatu.com, Haris Mahtul didampingi Sekretaris AJI Mataram, Wahyu Widiantoro, Divisi Advokasi Idham Khalid, serta sejumlah wartawan lain.
Pada kesempatan itu Haris meminta pimpinan Institusi Polri khususnya Polresta Mataram menghargai kebebasan pers yang dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kebebasan yang mengatur tata cara jurnalis meliput, menulis dan merahasiakan narasumber yang terlibat kasus skandal dalam jabatannya.
Khususnya dalam kasus dugaan Pungli di Unit Lakalantas berupa pengurusan surat keterangan kecelakaan senilai Rp 1 Juta sampai Rp 2,5 Juta, jurnalis memiliki hak tolak untuk menyebutkan narasumber yang menjadi korban.
Ini jelas diatur dalam Pasal 4 ayat 4 Undang Undang Pers.
“Kami berharap ini jadi pelajaran bersama, bagaimana Institusi Polri khususnya di Polresta Mataram memahami tugas jurnalis lebih detail. Percayalah, jurnalis profesional tidak punya tendensi menjatuhkan marwah Polri, tapi dengan beginilah kami mengakomodir kepentingan masyarakat yang dirugikan oleh oknum di tubuh Polri,” kata Haris.
Cara cara intimidasi dengan menghapus berita dan pemanggilan paksa oleh Propam sebagai saksi tidak boleh lagi dialami jurnalis, karena karya jurnalistik adalah produk kolektif sehingga Pemimpin Redaksi lah yang harus diajak berkoordinasi atau saluran menyampaikan keberatan atas pemberitaan.
Ditambahkan Wahyu Widiantoro, sebaiknya yang dilakukan Polri adalah menjadikan pemberitaan itu sebagai referensi, apalagi materi berita yang sudah memenuhi kaidah jurnalistik seperti asas keberimbangan.
“Masyarakat justeru akan apresiasi Polresta Mataram apabila menjadikan berita atau karya jurnalistik itu sebagai bahan tindak lanjut dan respon cepat atas masalah di lapangan,” tandas Wahyu Widiantoro.
Merespons itu, Kapolresta Mataram mengucapkan terimakasih, karena dengan bertemu, ia dapat menjelaskan langsung sikap dan tanggung jawabnya sebagai pimpinan merespons berita dugaan pungli tersebut.
“Saya mengucapkan terima kasih karena pemberitaan yang teman-teman tulis itu juga membangun, mengkritik tentang kemajuan kami di tubuh Polri,” ungkap Mustofa.
Terkait adanya insiden intimidasi yang meminta wartawan untuk menghapus berita yang dilakukan oleh oknum kepolisan atas pemberitaan tersebut, dirinya secara pribadi dan atas nama institusi meminta maaf kepada wartawan yang merasa dirugikan.
“Kalau memang ada anggota saya, yang katakanlah sampai dengan mengintimidasi meminta pemberitaan take down (menghapus) pemberitaan, saya pribadi dan atas nama institusi meminta maaf terhadap peristiwa tersebut,” ujar Mustofa.
Ditegaskan Mustofa, selama memimpin di Polresta Mataram termasuk tiga kali pengalaman jadi Kapolres, dirinya secara pribadi tidak pernah melakukan pembatasan pemberitaan, apalagi sampai instruksi menghapus konten berita. Baginya pemberitaan yang kritis adalah bentuk partisipasi jurnalis bagi institusi Kepolisian.
“Yang jelas saya terbuka, selaku Kapolres akan siap terus mengklarifikasi apapun yang berkaitan dengan peristiwa yang ada di Polres. Kalau ada anggota saya yang bermain dan bersalah, saya proses yang bersangkutan. Itu prinsip bagi saya,” tegas Mustofa.
Ketua Divisi Advokasi AJI Mataram, Idham Khalid dalam keterangan tertulis menambahkan, belajar dari kejadian tersebut, ada baiknya jajaran di Polri memahami pedoman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Manakala keberatan dengan pemberitaan, maka dapat menggunakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur Pasal 5 ayat 2 dan 3 Undang Undang Pers.
Sedangkan upaya pressure untuk menghapus berita dapat digolongkan menggalang halangi kerja jurnalistik yang pelakunya dapat dipidana 2 tahun penjara dan denda Rp500 Juta. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dalam Undang Undang Pers. (*)
Baca berita lainnya di Google News