Mataram – Gerakan mahasiswa di Indonesia dari masa ke masa tidak pernah lepas dari dinamika. Ia seperti sungai yang kadang deras kadang surut tapi terus mengalir membawa harapan perubahan. Hari ini, kita menyaksikan banyak hal dalam tubuh gerakan mahasiswa yang patut kita renungi. Perpecahan antar aliansi, keluarnya kampus-kampus dari struktur gerakan nasional, hingga melemahnya arah konsolidasi menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan. Namun, apakah semua ini pertanda gerakan mahasiswa telah kehilangan arah?
Sebaliknya, saya percaya ini adalah bagian dari proses pendewasaan.
Setiap zaman menghadirkan tantangan yang berbeda. Di era informasi seperti sekarang mahasiswa tidak hanya menghadapi represifitas kekuasaan seperti era Orde Baru, tetapi juga berhadapan dengan kompleksitas demokrasi yang paradoksal: kebebasan yang semu, partisipasi yang dangkal, dan polarisasi yang kian mengeras. Dalam konteks inilah, perpecahan di tubuh gerakan mahasiswa bukan semata kelemahan, tapi juga ruang pembelajaran: ruang untuk berproses, berpikir ulang, dan merumuskan ulang strategi perjuangan yang lebih relevan.
Kita tentu tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa gerakan mahasiswa hari ini tak sekuat dahulu. Namun kita juga tidak bisa terus-menerus membandingkannya tanpa memahami realitas zamannya. Perpecahan dalam aliansi, keluarnya kampus-kampus dari BEM nasional, bukan pertanda kematian gerakan, tapi lebih pada ujian sejarah ujian yang akan membentuk siapa yang sungguh-sungguh dan siapa yang hanya ikut arus.
Leluhur bangsa ini telah mewariskan kepada kita pelajaran penting: bahwa bangsa ini lahir dari konflik, perbedaan, dan bahkan perpecahan. Sebelum Indonesia merdeka, kita pernah tercerai berai: dalam pikiran, tindakan, suku, dan agama. Namun dalam kekacauan itu, selalu ada orang-orang yang memilih berpikir jernih, melihat kepentingan bangsa lebih besar daripada kepentingan kelompok. Mereka yang memilih menyatu, berpijak pada nilai Bhinneka Tunggal Ika, dan merumuskan dasar negara Pancasila. Mereka adalah para pemuda, para pelajar, dan mahasiswa masa itu mereka mengambil bagian dalam sejarah.
Kini, sejarah itu menagih kembali partisipasi kita.
Di tengah keterbelahan, mahasiswa harus memilih: menjadi penonton atau pelaku sejarah. Dalam dunia perjuangan, setiap orang punya masanya masing-masing untuk diuji. Mungkin hari ini adalah masanya kita. Tinggal apakah kita mau mengambil peran atau tidak.
Saya percaya, sekarang saatnya BEM-BEM kampus di seluruh Indonesia menata ulang arah gerakannya. Aliansi nasional yang terbentuk, meski lahir dari semangat persatuan, kini tampak terlalu tersentralisasi. Banyak kampus yang merasa tidak lagi terwakili, tidak didengar, atau terpinggirkan dalam keputusan-keputusan besar. Maka tidak heran jika mereka memilih untuk keluar dan membentuk jalan sendiri. Ini bukan pengkhianatan, ini adalah upaya mencari relevansi.
Gerakan mahasiswa harus kembali ke akarnya: ke rakyat, ke kampus, ke daerah. Sudah saatnya membangun kekuatan dari bawah, memperkuat aliansi per daerah, menyatukan semangat dari akar rumput, bukan dari menara gading pusat organisasi. Jangan lagi kita tersandera oleh sekat-sekat aliansi nasional yang membuat gerakan menjadi kaku, formalistik, dan kehilangan daya dobraknya. Biarlah gerakan daerah tumbuh, kuat, dan kemudian terkonsolidasi secara alami ke tingkat wilayah dan nasional. Itulah pola baru yang harus dihadirkan: gerakan super power dari akar.
Era telah berubah. Jika gerakan mahasiswa ingin tetap relevan, maka ia harus mampu membaca situasi zamannya. Kita tidak lagi bisa hanya berdemo dan berharap pemerintah berubah. Kita harus cerdas, luwes, namun tetap tajam. Kita harus membangun basis pengetahuan, memperkuat kajian, menguasai narasi publik, dan masuk ke ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Gerakan mahasiswa hari ini harus menatap realita demokrasi kita dengan jujur: bahwa demokrasi hari ini telah dibajak oleh kekuatan modal dan elite politik yang kian lihai memainkan simbol-simbol rakyat. Maka tugas kita bukan hanya meneriakkan perubahan, tapi juga menciptakan ruang-ruang alternatif yang lebih adil dan berpihak.
Akhirnya, sejarah memang tidak pernah memberi tempat pada mereka yang hanya diam. Ia hanya mengabadikan mereka yang mengambil bagian. Dan mahasiswa, dari zaman ke zaman, selalu menjadi bagian dari mereka.
Kita mungkin sedang terpecah, tapi semoga dari perpecahan itu tumbuh kesadaran baru kesadaran untuk bersatu kembali, lebih matang, lebih bijak, dan lebih relevan dengan zamannya.
Hidup Mahasiswa!
Herianto, S.P. Prema BEM Unram dan Korpus BEM SI 2024
Lihat juga Video: Senam Puma dan Bazaar UMKM La Vida