BARBARETO.com – Kasus kekerasan pada perempuan dan anak terus meningkat selama tiga tahun terakhir, khususnya di Lombok Timur. Menurut data terbaru dari Polres Lombok Timur, telah terjadi kasus kekerasan pada perempuan dan anak sebanyak 51 kasus di tahun 2021, 87 kasus di tahun 2022 dan awal Januari 2023 ini sudah masuk laporan sebanyak 11 kasus. Data ini belum termasuk kasus yang tidak masuk laporan ke polres yang disebabkan karena korban merasa malu dan menganggapnya kasus kekerasan sebagai aib.
Rumitnya proses pelaporan juga terkadang membuat masyarakat malas untuk melapor. Apalagi tindak kekerasan biasanya menimpa masyarakat yang kurang mampu sehingga akses untuk layanan sosial biasanya sulit mereka jangkau dengan keterbatasan yang ada. Ujungnya, kasus kekerasan berakhir damai sebab tidak pernah ditindaklanjuti.
Atas dasar inilah, INKLUSi-BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) dan Lombok Research Center (LRC) melakukan kerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) untuk melaksakan kegiatan berupa diskusi Penyusunan Standard Operating Procedure Pelayanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (SOP UPTD PPA) yang terselenggara pada Kamis, 16 Maret 2023 di Aula DP3AKB. Acara ini dihadiri oleh perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Lombok Timur, yakni Dinsos, Dikes, Dikbud, Dukcapil, Kementerian Agama, PPA Polres, dan sejumlah LSM, seperti Rutgers, LPSD, LPA dan sebagainya.
Karena kekerasan adalah masalah sosial, jadi ini adalah tugas semua lapisan masyarakat baik pemerintah atau warga sipil untuk mewujudkan perlindungan bagi seluruh perempuan dan anak. Karena mereka yang sering kali menjadi korban kekerasan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah atau lingkungan kerja. Hal ini juga senada seperti yang disampaikan Suherman selaku Direktur LRC dalam sambutannya.
“Kami berinisiatif untuk melakukan penyusunan kembali terhadap SOP UPTD PPA agar mampu mengakomodir lebih baik dalam penangan kasus kekerasan. Kegiatan ini juga merupakan bagian implementasi program inklusi, program ini konsen dalam melakukan penghapusan kekerasan perempuan dan anak,” jelasnya.
Dengan adanya penyusunan kembali SOP UPTD PPA ini bertujuan agar prosedur yang sudah ada semakin disempurnakan agar masyarakat bisa mengaksesnya dengan lebih mudah. Juga seluruh OPD di Lombok Timur bisa berintegrasi dengan baik untuk mengatasi kasus kekerasan, sehingga semua potensi, jaringan dan sumber daya bisa dimaksimalkan untuk membantu satu sama lain. Dan harapannya kalau SOP ini sudah final, itu bisa menjadi replika atau warisan bagi pemerintah daerah yang akan dijalankan secara berkelanjutan.
“Sebenarnya ini bukan menyusun tapi menyempurnakan, SOP-nya sudah ada tapi tinggal mana yang kurang itu yang disempurnakan, kalau misalnya sekarang alurnya terlalu panjang itu mungkin bisa dibuat lebih sederhana dan tidak njlimet agar lebih mudah diakses”, kata H. Ahmat A. S. Kep, M.M selaku Kadis DP3AKB dalam sambutannya.
Kekerasan juga sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, karena kemiskinan sering kali memunculkan rasa frustrasi dan sikap impulsif yang menyebabkan KDRT, perampokan, penculikan dan kekerasan lainnya. Sementara untuk melaporkan kasus kekeraasan masyarakat harus ke pusat, butuh biaya akomodasi. Jadi, ini seharusnya yang menjadi perhatian pemerintah, baik pusat atau daerah untuk memberikan fasilitas agar masyarakatnya bisa terlayani dengan baik.
Dari PPA Polres sendiri memberikan tanggapannya soal ini. “Seringnya kasus kekerasan itu terjadi pada masyarakat yang kurang mampu, kalau kekerasan fisik itu masih bisa visum di puskesmas setempat tapi kalau kekerasan seksual itu, kita cuma kerjasama dengan RS Soejdjono jadi yang gratis cuma di sana. Sementara korban biasanya dari pelosok, tidak ada ongkos untuk ke Selong, makanya banyak yang males untuk melapor. Jadi kami berharap kalau di SOP ini juga nanti dimasukkan anggaran pemerintah untuk itu,” sambung Susana selaku Kanit PPA Polres pada pertemuan itu.
Karena SOP UPTD PPA ini tidak mungkin didiskusikan dan selesai dalam sekali atau dua kali pertemuan, maka dibutuhkan diskusi yang lebih intens. Diskusi ini akan menajadi awal untuk diskusi selanjutnya untuk memilah tim pembentukan SOP. Selanjutnya akan dibentuk tim kecil untuk diskusi intens agar SOP segera terbentuk.
Follow kami di Google News