Lombok Timur, BARBARETO.com – Salah satu komitmen Lombok Research Center (LRC) sebagai mitra Pemerintah Daerah Lombok Timur dalam pembangunan ialah menciptakan perlindungan sosial terhadap perempuan dan anak.
Sebagai perpanjangan tangan, LRC membentuk kelompok konstituen di 15 desa dampingan yang tersebar di Lombok Timur.
Kelompok konstituen yang dibentuk LRC memiliki layanan berbasis komunitas yang bisa diakses oleh masyarakat untuk membantu mereka dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, konflik dalam masyarakat dan masalah sosial lainnya.
Untuk menunjang kompetensi kelompok konstituen sebagai pelayan masyarakat, Lombok Research Center dan BaKTI dalam Program Inklusi melaksanakan kegiatan Penguatan Kelompok Konstituen dengan tema Memperkuat Peran Komunitas dalam Perlindungan Anak di Kabupaten Lombok Timur.
Kegiatan ini berlangsung di Aru Coffee, Lombok Timur pada Selasa 20 Juni 2013.
Acara ini dihadiri oleh Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Wilayah, Bidan Desa dan Kelompok Konstituen di 15 desa dampingan.
Lombok Research Center juga mengundang dua narasumber dari Dinas Sosial, Lalu Muhammad Isnaeni selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial yang khusus berbicara tentang prosedur adopsi dan Nurhidayati, SST, MPH., selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur yang khusus berbicara mengenai peran masyarakat dalam menurunkan stunting melalui penguatan posyandu keluarga.
Menurut Suherman selaku Direktur LCR, meneranghkan bahwa dua tema ini dianggap penting karena masalah adopsi belum menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan, sehingga banyak orang yang tidak tahu prosedurnya seperti apa, padahal mekanisme adopsi memiliki aturan perundang-undangan sehingga harus dilakukan dengan regulasi yang berlaku.
Dan terkait masalah stunting saat ini pemerintah daerah tengah melakukan kolaborasi multistakeholder dalam menurunkan prevalensi stunting.
Harapannya, setelah kegiatan penguatan ini kelompok konstituen memiliki pengetahuan yang akan menunjang kemampuan mereka termasuk bagaimana melakukan kolaborasi dengan pemerintah desa, puskesmas maupun posyandu keluarga dalam menangani permasalahan sosial atau kesehatan di tengah-tengah masayarakat.
“Selain kasus kekerasan, permasalahan yang menjadi perhatian LRC ialah kehamilan yang tidak diinginkan yang memunculkan masalah lain seperti stunting dan penelantaran anak, sehingga penting bagi kita semua mengetahui prosedur adopsi itu seperti apa agar anak-anak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan,” kata Suherman dalam sambutannya.
Dalam kegiatan ini peserta juga diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan baik berupa opini atau pertanyaan, ada sekitar empat orang yang memberikan tanggapan dan pertanyaan terkait masalah adopsi maupun stunting yang terjadi di desa-desa di Kabupaten Lombok Timur, beberapa di antaranya ialah maraknya kasus anak yang dititipkan ke keluarga lain dari kehamilan yang tidak diinginkan dan anak yang diasuh oleh keluarga lain karena orang tua kandung ke luar negeri.
Karena pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang seharusnya menerima perlindungan sosial dari pemerintah sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 bahwa negara mengamanatkan fakir miksin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Menanggapi hal ini Lalu Muhammad Isnaeni menerangkan tentang anak-anak yang berstatus diasuh oleh bukan keluarga inti agar mereka tetap mendapatkan perlindungan sosial, Dinas Sosial sekarang memiliki program satu pintu.
Sehingga, hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah desa ialah memastikan bahwa warganya yang termasuk ke dalam kelompok rentan (anak terlantar, masyarakat misksin, lansia dan disabilitas) dimasukkan ke dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), dengan begitu kelompok rentan akan mudah untuk mendapatkan program kesejahteraan, seperti BPJS, PKH, BST, BLT dan sebagainya.
Jadi sangat penting untuk memastikan administrasi kependudukan anak-anak yang diasuh oleh bukan keluarga dan anak yang diadopsi harus segera diurus prosedurnya ke Dinas Sosial sebelum umur 18 tahun agar mereka memiliki status kependudukan yang jelas.
“Untuk lebih jelasnya bagi siapapun yang mengadopsi anak, silakan datang ke kantor Dinas Sosial nanti akan kita bantu prosedurnya,” jelas Isnaeni.
Selain masalah adopsi peserta juga mebahas tentang klaim Dinas Kesehatan yang menyatakan bahwa saat ini Lombok Timur sudah hampir 100 persen posyandu keluarga, sehingga pelayanannya tidak hanya untuk ibu hamil dan balita tapi juga lansia dan remaja, sayangnya seperti yang disampaikan perwakilan kelompok konstituen Desa Paok Motong, posyandu di beberapa wilayah belum menjaring kelompok lansia terlebih remaja karena kegiatan posyandu yang bentrok dengan kegiatan sekolah.
Mengenai hal ini, Nurhidayati menjelaskan bahwa remaja memang boleh tidak datang ke posyandu karena di sekolah-sekolah sudah memiliki unit kesehatan siswa (UKS) yang bertugas untuk mendistribusikan makanan tambahan atau tablet tambah darah bagi remaja, juga harus memastikan bahwa para siswa agar mereka memiliki pola hidup sehat dan pengetahuan soal reproduksi yang komprehensip.
“Mungkin yang harus benar-benar disasar itu adalah remaja putus sekolah yang tempatnya jauh dari perkotaan, misalnya di Jerowaru, Sambelia, Pulau Maringkik dan Gili Belek, sehingga kalau bisa petugas kesehatan membawa mereka ke posyandu atau mendatangi mereka untuk diberikan PMT dan tamblet tambah darah,” jelas Nurhidayati.
Sebelum kegiatan penguatan kelompok konstituen ini ditutup Rusliadi (Ketua Forum Jurnalis Lombok Timur) selaku fasilitator memberikan beberapa poin penting yang menjadi catatan dalam kegiatan ini.
Pertama terkait masalah adopsi, bahwa adopsi harus memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, ada prosedur hukum yang harus dilalui sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan serta tidak boleh terjadi pemutusan hubungan darah dengan orangtua asli agar tidak terjadi manipulasi data.
Kedua, terkait masalah stunting di Lombok Timur, harus disadari bahwa ini bukan hanya urusan bidang kesehatan saja, tetapi semua pihak baik dari individu, pemerintah desa, pemerintah daerah hingga pusat harus bekerjasama dan berpartisipasi dalam menurunkan prevalensi stunting di Lombok Timur.
“Mulai dari Pemerintah Desa, OPD hingga Pemerintah Pusat harus bekerjasama. Satu masalah harus di anggap sebagai permasalahan bersama sehingga semua bisa berpartisipasi dalam pembangunan dan solusi yang diberikan bisa lebih intensif,” tutup Rusliadi.
Follow kami di Google News