Selong – Dua hari ini, kami Masyarakat Lombok Timur disuguhkan oleh pemberitaan yang cukup menarik. Tiga orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Timur dari partai Persatuan Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melaporkan Ketua DPRD ke Badan Kehormatan (BK).
Surat laporan tertanggal 17 juli 2025 dengan prihal Keberatan langsung tertuju kepada badan Kehormatan DPRD Kabupaten Lombok Timur tersebut langsung menggelinding ke public melalui beberapa media online.
Dalam surat tersebut, PDIP yang tergabung dalam Fraksi Demokrasi Bintang Perjuangan melaporkan Ketua DPRD Lombok Timur dengan alasan bahwa anggota fraksinya yang merupakan unsur pimpinan di dalam komisi III dan Komisi IV tidak dilibatkan dalam tim pembahasan lanjutan Rancangan Perda Pelaksanaan Sub Kegiatan Tahun Jamak.
Selain itu, PDIP Lombok Timur memberikan alasan bahwa, dengan tidak diikutkannya terlibat merupakan penghilangan konstitusional mereka. Namun, yang menarik adalah apakah laporan dari PDIP tersebut sudah sesuai dengan aturan atau hanya sebuah laporan yang salah target?
Kronologis PDIP Lombok Timur Laporkan Ketua DPRD
Penulis mencoba menganalisis dan mencoba memberikan sebuah pandangan dari sudut pandang yang berbeda. Kronologis dari laporan ini dimulai pada tanggal 15 Juli 2025 yang lalu. Pada tanggal 15 Juli 2025 tersebut DPRD Kabupaten Lombok Timur menggelar rapat paripurna untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan kegiatan tahun jamak untuk Pembangunan jalan dan Gedung Wanita.
Pada rapat paripurna tersebut, PDIP Lombok Timur memberikan beberapa poin penjelasan fraksi dan membuat Keputusan untuk menolak pembahasan lanjutan rancangan perda. Sedangkan 9 fraksi di DPRD Kabupaten Lombok Timur menyetujui pembahasan lanjutan.
Dengan adanya 9 fraksi yang setuju untuk pembahasan lanjutan maka, dibentuklah tim pembahasan yang terdiri dari gabungan komisi III dan Komisi IV. Dikarenakan PDIP sejak awal melakukan penolakan pembahasan lanjutan, maka disepakati oleh forum bahwa untuk menghormati Keputusan tersebut forum tidak mengikutkan PDIP dalam tim pembahasan lanjutan. Dan sebelum dilakukan Keputusan, semua fraksi diberikan hak untuk memberikan pendapat. Dan semua fraksi setuju waktu itu. Hanya PDIP saja yang tidak memberikan tanggapan (diam).
PDIP Lombok Timur tidak menyatakan sikap menolak maupun menyetujui, melainkan memilih diam. Dalam tradisi parlemen, sikap diam dalam forum pengambilan keputusan sering kali dianggap sebagai bentuk persetujuan pasif, terutama jika tidak disertai interupsi atau pernyataan resmi.
Sehingga pada waktu itu disetujuilah tim pembahasan lanjutan yang terdiri dari gabungan komisi III dan komisi IV. Namun sehari setelah kejadian tersebut, muncul di media bahwa PDIP merasa tidak dilibatkan dan langsung membuat keberatan ke BK DPRD dengan ketua DPRD sebagai pihak yang diadukan.
Yang menjadi dasar dalam surat aduan tersebut yaitu Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tata Tertib Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1 tahun 2024 dan Kode Etik Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 tahun 2024.
Melihat hal itu, penulis merasa PDIP Lombok Timur melakukan tembakan cepat, lugas dengan peluru yang kaliber. Namun sayang sekali sasaran tembaknya kurang tepat. Mengapa penulis mengatakan seperti itu?. Jika dilihat dari pasal 165 dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa “Pimpinan DPRD terdiri atas satu orang ketua dan paling banyak dua orang wakil ketua, yang bersifat kolektif dan kolegial.”
Sehingga segala Keputusan DPRD, termasuk dalam pembahasan Rancangan Paraturan Daerah pada tanggal 15 Juli yang lalu dan pembentukan tim merupakan keputusan kelembagaan, bukan tindakan pribadi ketua. Maka, laporan terhadap satu individu atas keputusan bersama dapat dikatakan tidak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014.
Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Pasal 34 ayat (1): berbunyi “Pimpinan DPRD memimpin rapat DPRD secara kolektif kolegial.” Dan pada Pasal 52: berbunyi “Anggota DPRD yang merasa haknya dilanggar dapat menyampaikan keberatan melalui mekanisme internal DPRD.”
Hal ini kalau kita lihat pada kronologis kejadaian pada tanggal 15 juli 2025 akan berkorelasi kepada konteks jika PDIP merasa haknya sebagai fraksi dilanggar, mekanisme keberatan seharusnya melalui paripurna atau forum resmi, bukan dengan melaporkan personal Ketua DPRD tanpa membuktikan adanya pelanggaran etik secara pribadi.
Selanjutnya dalam pasal 55 ayat 2 Tata Tertib Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1 tahun 2024 berbunyi “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagaimana dimaksud pada Ayat 1 Pimpinan DPRD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif kolegial”. Sehingga keputusan pimpinan rapat bersifat kolektif kolegial, artinya keputusan yang diambil dalam forum resmi, termasuk rapat paripurna, merupakan hasil musyawarah bersama pimpinan DPRD, bukan keputusan pribadi satu orang ketua. Oleh karena itu, laporan Fraksi PDI-P yang ditujukan secara personal kepada Ketua DPRD dinilai kurang tepat atau salah sasaran.
Laporan PDIP Lombok Timur ke Badan Kehormatan yang menyasar Ketua DPRD secara pribadi tidak tepat sasaran, karena keputusan yang dipersoalkan merupakan hasil forum kolektif pimpinan DPRD dan alat kelengkapan dewan. Jika ada keberatan, seharusnya disampaikan dalam forum resmi atau ditujukan kepada DPRD sebagai institusi, bukan kepada individu.
PP No. 12 Tahun 2018, secara tegas baik tersirat dan tersurat menjelaskan bahwa keputusan rapat dan pembentukan tim bukan wewenang tunggal ketua. Sehingga seharusnya secara Etika kelembagaan DPRD, PDIP Lombok Timur seharusnya penyampaian pendapat dan disalurkan melalui forum resmi atau secara internal, bukan melalui tuduhan personal yang bisa menciptakan konflik politik yang tidak produktif.
Jika PDIP Lombok Timur ingin menguji keabsahan keputusan, mestinya dilakukan melalui hak interpelasi, pendapat akhir fraksi, atau mekanisme voting resmi di paripurna, bukan melalui pelaporan ke BK yang tidak tepat sasaran.
Semoga kejadian ini memberikan ruang belajar yang luas bagi public untuk lebih bersikap arif. Hal ini diperlukan untuk sama-sama saling mengoreksi, bukan saling menjatuhkan. Dikarenakan setiap Tindakan yang dilakukan Bersama kedepannya untuk kemajuan Lombok Timur yang lebih baik.
Maharani. Penulis Adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)
Berita lainnya klik disini