22 C
Lombok
Jumat, April 18, 2025

Buy now

Tiga Tahun Zero Waste, Bagaimana Kabarmu?

Tiga Tahun Zero Waste, Bagaimana Kabarmu?

barbareto.com | Opini – Salah satu program kebijakan strategis yang terkait dengan lingkungan untuk mewujudkan NTB Gemilang 2023 adalah program NTB Zero Waste. Di awal peluncuran program ini, respon masyarakat sangat tinggi terutama pada aspek pendirian Bank Sampah.

Pemerintah Provinsi NTB memberikan pemaknaan terhadap program ini sebagai salah satu model pengelolaan sampah yang menjadi sumber daya serta memiliki nilai ekonomi dan bukan mengartikan bahwa tidak akan ada sampah di seluruh wilayah NTB.

Namun, hingga memasuki tahun ketiga pelaksanaan program NTB Zero Waste, permasalahan sampah masih menjadi bahan/isu hangat untuk didiskusikan. Ekspektasi dan fakta di lapangan tentunya akan menimbulkan berbagai pertanyaan di tengah masyarakat terkait dengan efektivitas dan capaian dari program tersebut.

Gagal? Asumsi ini tentunya terlalu dini untuk dijadikan sebagai suatu penilaian, karena pastinya Pemprov NTB masih terus berjuang untuk mewujudkan tujuan dari pelaksanaan program NTB Zero Waste.

Bank Sampah

Bank Sampah yang menjadi “ujung tombak” dari solusi yang ditawarkan oleh Pemprov NTB didalam upaya penurunan angka timbulan sampah. Setiap daerah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi NTB dirangkul untuk bekerjasama dan bersinergi. Tidak heran apabila para Bupati/Wali Kota berlomba-lomba agar setiap Desa/Kelurahan membangun Bank Sampah, dengan harapan masyarakat dapat menyetorkan sampah terpilahnya.

Data dari Dinas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Perovinsi NTB menyebutkan jumlah timbulan sampah pada tahun 2020 di NTB sebanyak 2,567,740 ton per hari. Dari timbulan sampah tersebut yang mampu tertangani sebanyak 896,450 ton per hari.

Secara teori Bank Sampah adalah masyarakat melakukan kegiatan memilih dan memilah sampah yang kemudian disetorkan kepada Bank Sampah. Kemudian sampah yang telah disetorkan itu diberikan nilai/harga yang akan menjadi tabungan dan menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat yang menyetorkan sampah.

Namun, fakta di lapangan memang tidaklah semudah teori, karena pengelolaan Bank Sampah juga menghadapi kesulitan untuk mengembangkan diri terutama pada berbagai masalah yang harus dihadapi seperti, harga jual sampah yang tentunya tidak stabil, kemudian tingkat partisipasi masyarakat yang masih kurang, belum lagi dengan berbagai fasilitas pendukung yang masih belum memadai.

Pada tahun 2020 terdapat 372 Bank Sampah di seluruh Provinsi NTB dimana, Bank Sampah tersebut baru mampu membantu pengurangan timbulan sampah sebesar 1,07 persen atau 27,850 ton per hari.

Membangun Bank Sampah tentunya tidaklah mudah, karena Bank Sampah haru juga didukung sumber daya yang memiliki dedikasi dan kapabilitas. Proses pembangunan Bank Sampah yang secara instan tentunya akan berdampak terhadap kinerja dan keberlangsungan dari Bank Sampah.

Untuk itu, seharusnya sebelum membangun Bank Sampah, memberikan penyadaran kepada masyarakat harusnya lebih didahulukan. Diperlukan suatu studi dan pemetaan mengenai tingkat partisipasi masyarakat yang tentunya SDM yang mengelola Bank Sampah sudah memiliki bekal tentang pengetahuan organisasi, administrasi dan pencatatat keuangan layaknya Bank pada umumnya.

Langkah awal tersebut tentunya akan menjadi suatu energi positif, sehingga membantu dalam proses merubah pola pikir masyarakat agar menjadi lebih kreatif didalam berkontribusi pada sistem pengelolaan sampah, minimal pada lingkungannya masing-masing.

Bank Sampah yang masuk dalam kegiatan NTB Zero Waste tentunya diharapkan akan menjadi media perantara antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat yang nota bene merupakan penghasil sampah.

Memang tidak mudah namun, Pemerintah juga tidak boleh hanya fokus pada pengurangan sampah yang dilakukan oleh Bank Sampah namun, Pemerintah Daerah juga harus dapat memberikan solusi yang jelas tentang segmen pasar.

Pertanyaannya apakah sudah ada pasar bagi produk/bahan baku daur ulang di NTB. Hal ini penting karena, apabila keberadaan Bank Sampah hanya dijadikan sebagai “pengepul” sampah plastik/karton yang kemudian dijual ke pengusaha pengepul barang rongsokan artinya keberadaan Bank Sampah ini sama dengan pengepul sampah.

Zero Waste dan Industrialisasi

Seiring dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk merubah pola interaksi sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu perubahan yang ada di tengah masyarakat saat ini adalah perubahan pola berbelanja. Banyak usaha-usaha kreatif masyarakat saat ini diperdagangkan melalui pasar e-commerce maupun pesan antar. Baik untuk pemenuhan rumah tangga, sekolah anak atau pun makanan sehari-hari.

Platform digital marketing ini kemudian menjadi salah satu cara Pemprov NTB untuk menguatkan pondasi perekonomian NTB. Hadirnya aplikasi e-commerce NTB Mall memberikan ruang bagi IKM/UMKM di NTB untuk mendekatkan berbagai produk mereka dengan pasar dan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat NTB.

Ikhtiar Pemprov NTB ini tentunya harus didukung namun, pernahkah pihak-pihak terkait memperhitungkan bahwa digital marketing juga memiliki potensi untuk menambah beban timbulan sampah terutama sampah plastik? Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan subdit Barang dan Kemasan menyebutkan bahwa 96 persen paket belanja online menggunakan sampah plastik.

Kementerian LHK juga menyebutkan Transaksi belanja online yang berbentuk paket naik 62%, dan belanja layanan antar makanan siap saji naik 47%. Berdasarkan dari frekuensi, belanja online selama masa pandemi naik jadi 1-10 kali dari sebelumnya hanya 1-5 kali per bulan. Sampah banyak berupa plastik, bubble wrap dan selotip.

Mesin pengolah sampah menjadi bahan bakar yang ada di STIP Banyumulek tentunya bukan menjadi satu-satunya harapan dan andalan untuk menangani persoalan sampah di NTB. Karena yang paling penting saat ini apabila mengutip ucapan Profesor Anthony Ryan, seorang profesor kimia fisik di Universitas Sheffield, mengatakan bahwa bukan plastik yang menjadi masalah, tetapi bagaimana orang memilih untuk berurusan dengan plastik “Plastic’s inanimate, so it can’t be bad, it’s what people do with it that’s bad.”

Peran Serta Masyarakat

Akhirnya semua ini harus bermuara kepada kewajiban masyarakat NTB untuk dapat melakukan pengelolaan sampah, yaitu dimulai dari mengurangi hingga mengolah sampah agar jumlah sampah yang dibawa ke TPA menjadi lebh sedikit.

Semua stakeholders baik dalam lingkup Provinsi NTB maupun kabupaten/kota harus memiliki kesamaan untuk terus melakukan sosialisasi yang komprehensif didalam mengenalkan pengelolaan sampah pada masyarakat, melibatkan hingga memahamkan proses ramah lingkungan yang layak untuk diterapkan.

Tentunya bukan itu saja, namun harus ada perbaikan juga pada sistem pengangkutan yang ada saat ini dimana sebagian besar masih memiliki permasalahan. Fakta di lapangan memang masih banyak penumpukan sampah yang disebabkan oleh sistem pengangkutan atau pertanyaan lainnya adalah mungkinkah sistem birokrasi yang selama ini tidak sepenuhnya menjalankan standar pelayanan? Ini juga menjadi pekerjaan rumah tambahan yang harus segera dipikirkan solusinya. 

Jika selama ini penanganan sampah TPS 3R (Tempat Pengolahan Sampah Berbasis 3R) yang dikelola masyarakat dan menghadapi berbagai kendala, maka jangan ragu untuk melakukan upaya evaluasi dan meningkatkan secara kualitas bukan hanya sekedar menambah kuantitasnya saja.

Herman Rakha – Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)

- Advertisement -
Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
122PengikutMengikuti
195PelangganBerlangganan

Latest Articles