Opini, barbareto.com – Saya dan keluarga kecil awalnya hanya ingin berwisata menikmati panorama indahnya pulau Gili Trawangan, di Kabupaten Lombok Utara pasca lebaran tahun ini.
Namun beberapa cerita menarik keluar dari sahabat saya yang notabenenya merupakan orang asli Gili Trawangan, Dia lahir dan besar di pulau tersebut. Ini bukan tentang keindahan, namun tentang jalan perlawanan yang diperjuangkan oleh masyarakat asli Gili Trawangan.
Yakni terkait dengan kepemilikan lahan alias tanah di Pulau Gili Trawangan. Jika wisatawan datang ke Gili Trawangan saat ini, pasti akan banyak mendapatkan poster atau kain bertuliskan “KAMI INGIN SERTIFIKAT HAK MILIK” itulah sebentuk perlawanan dari warga Gili Trawangan.
Setelah saya kulik dan bertanya-tanya ke sahabat saya itu, saya baru tahu juga, ternyata sebagian besar masyarakat yang mendiami Gili Trawangan tidak mempunyai sertifikat hak kepemilikan tanah.
Artinya status sebagian masyarakat di sana masih mendirikan rumah di atas lahan milik Pemerintah Provinsi NTB, termasuk tanah tempat sahabat saya tinggal, katanya itu masih milik pemerintah.
Saya mengerti dan memahami betul apa yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di Gili Trawangan, salah satu sampelnya yaitu saya ambil dari cerita sahabat itu.
Sudah berpuluh-puluh tahun mereka berjuang untuk mendapatkan sertifikat hak milik tanah yang di tempatinya, namun seberapapun besar usaha dan perjuangan mereka katanya tetap saja kalah jika melawan pemerintah.
Seperti cerita yang dapat saya simpulkan, hampir 80 persen tanah yang di tempati oleh warga Gili Trawangan masih milik pemerintah. Artinya, saya berfikir mungkin itu salah satu alasan warga Gili Trawangan agak berat untuk membangun rumah yang layak karena sewaktu-waktu bisa saja di bongkar oleh pemerintah.
Usai mendengar cerita dari sahabat saya itu, saya berusaha mencari informasi obyektif dari sisi pemerintah Provinsi NTB juga. Dan beberapa pemberitaan sebelumnya juga menampilkan beberapa alasan pemerintah mempertahankan aset milik Pemprov NTB.
Pertama, pemberitaan oleh kompas.com pada tanggal 21 Maret 2023 kala itu Gubernur NTB masih di pimpin oleh Dr. Zulkieflimansyah yang mengatakan bahwa pihaknya mendatangi KPK terkait persoalan lahan di Gili Trawangan.
Menurut Gubernur pada kala itu, beberapa oknum memang ada yang menyewakan lahan tanpa sepengetahuan dari Pemerintah selaku pemilik lahan. Pada saat itu lahan yang dikuasai oleh pemerintah masih seluas 75 hektare dari total 340 hektare luas lahan di Pulau Gili Trawangan.
Pihak pemerintah juga beralasan, jika sertifikat hak milik itu dikeluarkan maka ketakutannya nanti tanah tersebut gampang diperjual-belikan termasuk ke pihak asing.
Kedua, pemberitaan dari radarlombok.com pada tanggal 5 Februari 2025 yang menjelaskan bahwa Pemprov NTB belum mampu memasang plang lahan kepemilikam akibat protes dari masyarakat Gili Trawangan. Adapun jumlah lahan milik pemerintah kemudian menyusut menjadi 65 hektare, dan saya juga kurang tahu apa penyebab dari penyusutan yang awalnya dari 75 hektare menjadi 65 hektare saat ini.
Demikian tulisan ini saya buat berdasarkan catatan cerita dan pengalaman sewaktu berlibur ke Gili Trawangan. Mohon dimaafkan jika terdapat kekeliruan refrensi tulisan.
Febriga Rifky [Menulis dan Memotret]