barbareto.com | Opini – Berita duka kembali menimpa saudara kita dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berangkat untuk menjadi Buruh Migran ke Malaysia. Enam orang dikabarkan bertaruh nyawa saat hendak menyeberangi perairan perbatasan antara Kepulauan Riau menuju daratan negara Malaysia.
Berdasarkan berita yang di muat dari media online, yang menyatakan bahwa kapal cepat mereka terbalik sekitar pukul 05.00 waktu setempat, Rabu pagi (15/12).
Kapal cepat ini dikabarkan membawa tak kurang dari 60 orang TKI dari wilayah Kepulauan Riau menuju daratan Johor Bahru, Malaysia. Dari puluhan orang TKI, untuk sementara enam dikabarkan berasal dari NTB.
Di antaranya lima asal Kabupaten Lombok Timur dan satu orang lagi asal Kabupaten Lombok Tengah. Yakni, Gunawan asal Dasan Rambanbela Desa Lenek Kecamatan Aikmel, Yoan Eki Sudiatma, warga Kedondong Daya Kecamatan Pringgasela, Dedi Suryadi warga Anjani Timur Kecamatan Suralaga.
Samsudin, Pemasah, dan Alwi dari Dusun Mampe Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur. Sedangkan satu orang lagi bernama Muhamad Nasir asal Balemontong Desa Kawo Pujut Kabupaten Lombok Tengah.
Kejadian yang menimpa saudara kita ini bertepatan dengan hari ulang tahun NTB yang ke 63. Seharusnya, pemerintah daerah harus mengevaluasi jajarannya. Dalam hal ini, Gubernur selaku pimpinan tertinggi di NTB juga harus bersikap cepat. Dan kejadian ini harus dapat dijadikan sebuah pelajaran yang sangat berarti untuk daerah dalam melakukan pembangunan khususnya pembangunan sumber daya manusia.
Permasalahan ketenagakerjaan di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai saat ini, masih di warnai oleh pertumbuhan penduduk, angkatan pekerja yang tinggi, kualitas angkatan kerja yang rendah dan terbatasnya lapangan kerja yang tersedia.
Akibat ketidak seimbangan tersebut, jumlah pengangguran jadi tidak terkontrol, dan perkuat dengan krisis ekonomi yang diakibatkan oleh dua bencana besar yang dialami oleh NTB lima tahun terakhir.
Bencana alam tahun 2018 secara langsung mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di NTB menjadi terhambat. Ditambah dengan datangnya bencana non alam yaitu pandemic covid-19 awal tahun 2020 yang lalu, juga menyebabkan sendi sendi ekonomi NTB porak poranda.
Sebagai gambaran umum, dari 5,23 Juta jiwa penduduk Propinsi NTB (2020), penduduk yang tergolong kelompok tenaga kerja yaitu yang berusia 15 tahun ke atas berjumlah 4.584.400 jiwa dan 2.987.000 jiwa diantaranya tercatat aktif bekerja di sektor pertanian.
Jumlah penganggur penuh 800-an ribu jiwa, penganggur tidak penuh (bekerja > 20 jam seminggu) sebanyak 826 ribu jiwa dengan 76.9% dari mereka paling tinggi berpendidikan SD dan sederajat.
Di sisi lain, tenaga kerja asal NTB, pada khususnya, sangat diminati oleh pasar atau pihak pengguna jasa tenaga kerja (the users) di luar negeri, terutama negara Malaysia dan negara-negara Timur Tengah (Arab), sebagai suatu contoh, dalam tahun 2014, remittance yang masuk ke Propinsi NTB dari sector TKI sebesar 1,4 Triliun rupiah, dibandingkan dengan Pendapatan Asli daerah (PAD), jauh sekali, yang hanya 1 triliun (2020).
Ini berarti kontribusi tenaga kerja/buruh migran Indonesia (TKI) asal NTB terhadap pembangunan ekonomi di daerahnya sangat baik dan dapat dibanggakan. Tidaklah mengherankan, jika pada akhirnya mereka (TKI) sering disebut sebagai “Pahlawan Devisa”.
Pembangunan dan Iklim Usaha di NTB
Pembangunan seharusnya memperhatikan kepentingan dan keterlibatan masyarakat untuk berperan serta baik langsung atau pun tidak langsung guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya, bukan menyingkirkan mereka dalam proses pembangunan tersebut. Pembangunan industri adalah salah satu cara yang paling masif dan berdampak baik bagi peningkatan perekonomian masyarakat di satu kawasan tertentu khususnya penduduk asli daerah tersebut.
Pada kenyataannya, banyak pembangunan yang malah menyingkirkan masyarakat setempat karena kurangnya persiapan yang matang dari pemerintah daerah dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dan mampu mengikuti proses pembangunan itu sendiri.
Pentingnya identifikasi terhadap kesiapan masyarakat tersebut harus dilakukan dan dicarikan pemecahannya oleh pemerintah daerah, agar masyarakat dapat diikutsertakan sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Prinsip keadilan sosial merupakan tujuan utama dari pembangunan, selain dari pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.
Pembangunan berarti memberikan hak setiap warga masyarakat untuk mengambil peran berdasarkan hak yang sama. Hadjisarosa (1974) (dalam Lutfi, 2006) mengatakan bahwa kriteria yang digunakan dalam menyatakan tingkat pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh “tingkat kemudahan” masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin besar tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin besar daya tariknya untuk menarik sumber daya kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut.
Gubernur NTB dalam jargon pembangunannya NTB Gemilang telah banyak melakukan beberapa terobosan dalam pembangunan di daerah. Misalnya pembangunan pabrik minyak kayu putih terbesar di dunia yang dibangun di Dompu. Adanya kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika dengan sirkuit Mandalika sebagai unggulannya. Pembangunan Science Technology and Industrial Park (STIP) sebagai tempat anak-anak muda mengembangkan jiwa bisnisnya (Inkubasi bisnis).
Namun, sampai saat ini. semua pembangunan yang spektakuler itu apakah dinikmati oleh masyarakat local yaitu masyarakat NTB?. Jika iya, lalu kenapa masih ada masyarakat kita yang keluar mencari kerja ke luar negeri walaupun dengan cara ilegal.
Ini menjadi pertanyaan besar untuk pemerintah daerah dan kita semua sebagai masyarakat NTB. Kita sebagai masyarakat diiming-imingi dan dibuai oleh pembangunan yang spektakuler. Hanya sekedar menjadi security dan tukang sapu di rumahnya sendiri cukup sulit. Kenapa bisa seperti itu?.
Banyak yang mengatakan bahwa Sumberdaya Manusia (SDM) local masih belum siap menghadapi cepatnya pembangunan dan perkembangan zaman. Betulkah seperti itu?. lalu siapa yang seharusnya berbuat agar pernyataan-pernyataan seperti itu tidak muncul lagi.
Kita sebagai masyarakat NTB sudah lulus diuji sebagai tuan rumah event internasional bulan lalu (Nopember) yaitu WSBK. Tahun 2022 yang akan datang perhelatan yang lebih besar sudah didepan mata. Lalu seperti apa kita mempersiapkan diri?. Apa yang harus dilakukan.
Pemerintah daerah seharunya sejak awal sudah melakukan pemetaan secara detail dan rinci. Bagaimana potensi sumberdaya manusia local. Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat local. Dan pemerintah daerah harus mampu menciptakan iklim usaha dan bisnis yang memerankan masyarakat local sebagai pelaku utama.
Jangan hanya jargon-jargon pembangunan saja yang Gemilang. Kita tidak menginginkan saudara kita tenggelam lagi ketika hendak mencari pekerjaan ke luar negeri. Dan seharusnya kita mengurangi bahkan menghapus jika ada saudara kita ingin mencari kerja keluar negeri yang non skill. Jika kerjanya membutuhkan skill kita harus menyiapkannya.
Di moment ulang tahun yang ke 63 ini, seharusnya pemerintah daerah sadar dan mau membuka diri untuk merenung, sampai saat ini dimana letak sekat pembangunan ini terhambat. Agar kedepannya sekat pembangunan ini betul-betul hilang dan masyarakat kita benar-benar menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Untuk NTB yang lebih Gemilang.
Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)