barbareto.com | Lombok Timur – Buku berjudul “Pepadu Sasak Perspektif Etnopsikologi” yang baru saja di launching (1/11), menjadi salah satu dari sekian yang mengangkat tradisi lokal. Keberadaan karya ilmiah satu ini menambah khazanah pengetahuan tentang tradisi suku sasak.
Buku ini juga diketahui, menjadi pertama yang membahas tentang tradisi peresean yang sangat digandrungi oleh masyarakat suku sasak. Namun demikian karya satu ini lebih mengambil sisi psikologi yang disebut sebagai ekspresi dari kegiatan tersebut.
Penulis Buku Pepadu Sasak, Mastur Sonsaka, mengaku jika berbicara terakit hal itu secara akademis sangat susah ditemukan. Sejarah peresean misalnya, tak dapat ditemui dalam sebuah karya ilmiah. Lantaran sampai saat ini disebutnya belum ada yang berkonsentrasi kearah tersebut.
“Maka salah satu caranya ialah menanyakannya ke pihak yang mengetahui tentang itu,” papar Mastur Sonsaka, saat mengurai singkat sisi buku tersebut. (2/11/21)
Pada fase pembentukan misalnya, lanjutnya, banyak sekali anggapan mengenai awal mula lahirnya seni tradisional suku sasak ini. Seperti adanya pendapat bahwa peresean muncul sebagai media untuk melatih para perajurit.
Baca juga : Gelar Uji Kompetensi Tata Rias Pengantin Sasak, Bunda Niken Minta Para Perias Tetap Kreatif
Yang paling ditemukan ialah kegiatan ini menjadi sebuah ritual yang memiliki kekuatan mistis. Konon, lanjutnya, seni satu ini di Gumi Sasak, sering dijadikan sebagai langkah untuk mendatangkan hujan jika terjadi kemarau panjang.
Peristiwa semacam itu diungkapnya bukan tanpa dasar. Sebab diakuinya kejadian semacam itu pernah ia saksikan ketika masih kecil. Pada waktu itu, hal itu diyakini akan mendatangkan hujan.
Sebab konon jika ada darah yang tumpah, beber Mastur, akan ada hujan yang akan menyampunya. Ditambah lagi dengan berbagai mistifikasi lainnya, yang meresidu menjadi sebuah keyakinan.
Di lain sisi, kata pengurus BPPD Lotim ini, terjadinya keanehan dengan teori umum yang sering didapatinya dari bangku kuliah. Teori etiknya, ketika agresifitas tinggi maka kontrol diri pasti rendah.
Namun demikian hal itu tak berlaku bagi seni tradisional satu ini. Bahkan ia mengaku sempat kebingungan dengan saat melakukan penelitian, sebab secara etik ilmunya berbeda dengan dilapangan.
“Anehnya pada pepadu ini tidak berlaku teori etik ini,” ujarnya.
Apalagi dibandingkan dengan beberapa olahraga yang bercorak mengandalkan agresifitasnya, semisal tinju. Menurutnya, sudah pasti berbeda dengan seni satu ini yang hanya sampai sebatas arena saja.
Lantaran itu dirinya melihat ada peran lain yang dilakoni oleh para pemain. Yang disebut sebagai pepadu dalam seni tradisional itu. Pepadu, kata Mastur, memiliki agresifitas yang tinggi juga pada saat yang sama memiliki kontrol diri yang sama pula.
“Makanya saya menggunakan Etnopsikologis untuk mengurainya,” bebernya
Sementara itu, Prof. Dr. Adi Fadli, M.Ag, sebagai pemanding dalam buku itu mengapreasiasi lahirnya karya tersebut. Menurutnya, sampai saat ini kesejarahan di pulau Lombok masih belum jelas. Semisal keberadaan masjid tua, ada beberapa versi mulai dari abad ke 7, 16,17 hingga 18.
Meski belum jelas, bebernya, harus dijelaskan pendapat-pendapat yang berbeda tersebut. Yang bersumber dari buku-buku induk atau otoritatf.
“Jika karya ini dibuat secara dengan data yang baik dan runut maka akan menjadi karya yang bagus,” ujarnya. (*)