Oleh: Maharani – Peneliti Lombok Research Center (LRC)
Beberapa minggu ini kita disodorkan beberapa pemberitaan di media online terkait dengan maraknya pekerja perempuan yang dijadikan bahan iklan maupun menjadi objek dalam bisnis pariwisata di Bumi seribu Masjid.
Dunia pariwisata Indonesia sudah memperlihatkan perkembangan dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya angkatan kerja baik untuk pria maupun perempuan. Banyaknya keikut sertaan perempuan yang bekerja di sektor pariwisata. Pekerja perempuan yang terjun di dunia industri jasa pariwisata, ada yang masih lajang maupun ada yang sudah menikah. Peran ganda bagi perempuan yang sudah menikah dan bekerja di dunia pariwisata mempunyai problematika tersendiri, dimana mereka bekerja juga harus merawat keluarga.
Pun begitu yang terjadi dalam rantai bisnis pariwisata yang ada di Nusa Tenggara Barat (NTB). Jika dilihat dari capaian yang sangat membanggakan, NTB sudah sepatutnya membanggakan diri. Beberapa penghargaan bidang pariwisata sudah pernah diraih oleh NTB. Apalagi semenjak beberapa tahun terakhir ini, NTB sudah menjadi Kawasan Strategis dengan keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Tentunya dengan Pariwisata sebagai pondasi pembangunannya.
Mengkaji perempuan bekerja tentu terkait dengan persoalan penyetaraan jender. Dalam pengertian ilmu sosial, istilah jender diartikan sebagai pola hubungan atau relasi laki-laki dan perempuan yang didasarkan kepada ciri-ciri sosial masing-masing. Tercakup di dalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa perilaku, dan persepsi yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Sebagai pranata sosial jender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku universal dalam artian berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya dan dari waktu ke waktu lainnya, sehingga dalam pengertian tersebut jender sesungguhnya lebih berkaitan dengan system sosial masyarakat dan jauh lebih luas dari sekedar isu perempuan saja (Hafidz, 1995).
Bahkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun 2023 mengatakan bahwa sebanyak 54,22 persen tenaga kerja di bidang pariwisata adalah perempuan. Sedangkan pekerja laki-laki sebesar 45,78 persen. Angka ini mencerminkan rasio serupa di mana secara global perempuan juga memegang posisi dominan di sektor pariwisata dengan 54 persen angkatan kerja, sesuai dengan Laporan Global tentang Perempuan dalam Pariwisata oleh UN Tourism.
Namun, sejauh mana pembanguna pariwisata di NTB kearah yang lebih Inklusif?. Di dalam rencana kerja pembangunan pariwisata Indonesia, kedepannya sektor pariwisata harus berani kearah pembangunan yang Inklusif. Berbagai proyek inovatif berbasis komunitas hingga inisiatif ramah lingkungan. Peran perempuan di dalamnya membentuk dan merangkul keberagaman guna mendorong pemberdayaan ekonomi.
Akan tetapi, di balik cerita-cerita bagus tersebut, tentu tidak menutup kemungkinan banyak tantangan yang harus kita selesaikan kedepannya. Tantangan tersebut antara lain ketidak berpihakan pada perempuan seperti jam kerja yang panjang dan kesenjangan upah. Selain jam kerja dan kesenjangan upah potensi eksploitasi pekerja perempuan di Industri pariwisata dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban perdagangan manusia. Sebagai contoh terjadinya perdagangan terhadap perempuan dalam rantai bisnis pariwisata yaitu bagaimana pariwisata seks menjadi salah satu wujud nyata dari perdagangan manusia di sektor pariwisata. Temuan dari peneliti Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan bahwa pariwisata seks di Asia Tenggara selalu melibatkan anak di bawah umur dan berujung pada praktik pedofilia.
Lalu, apakah hal tersebut terjadi di dalam bisnis pariwisata kita di NTB?. Sebagai orang NTB tentunya penulis akan merasa bahwa hal semacam tersebut tidak akan pernah terjadi di NTB khususnya di Pulau Lombok ini. namun, pemikiran penulis langsung terbantahkan dengan adanya berita yang ada di media online beberapa minggu ini. Di sebuah media online penulis membaca berita dengan judul ” Cafe LP Sediakan Penari Striptis, Pengelola Akui Ada Izin dan Sudah Berjalan Lama”. Mencermati judul berita tersebut membuka cakrawala berfikir penulis bahwa pariwisata tidak akan pernah terlepas dari hal-hal semacam itu.
Namun, apakah kita sebagai pegiat sosial akan setuju dengan model pembangunan pariwisata yang seperti itu?. Sejak sepuluh tahun yang lalu, NTB sudah memiliki branding sebagai pariwisata syariah yang mengedepankan budaya lokal dan keindahan alamnya sebagai pondasi dalam pembangunannya.
Hasil kajian dari akademisi dari akademisi UGM juga menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam industri pariwisata sejatinya ada pada posisi yang rentan. Hal ini juga diakibatkan oleh kurangnya bargaining power dalam memperjuangkan hak mereka di industri pariwisata. Implikasinya, adalah perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban pekerja seks dan perdagangan manusia. Lebih lanjut, terkait dengan pariwisata seks di Indonesia, bahwa praktik tersebut bisa langgeng karena backup dari oknum aparat. Peneliti UGM mencontohkan bagaimana praktik wisata seks terselubung di kawasan Sleman yang justru dilakukan di belakang kantor penegak hukum.
Pembangunan pariwisata memang mempunyai dampak positif bagi masyarakat luas, namun pembangunan pariwisata juga memiliki berbagai macam dampak negatif yang dialami masyarakat. Dalam penelitiannya Waluya (2013), mengatakan bahwa terdapat dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya pengembangan pariwisata salah satunya adalah rusaknya moral yang terjadi pada masyarakat sekitar area pariwisata. Rusaknya moral tersebut, ditandai dengan munculnya sebuah prostitusi seperti yang ada di kawasan Parangkusuma.
Pada penelitian yang dilakukan Rosyida dan Sri yang berjudul “Seks Dan Pariwisata : Fenomena Penginapan Esek-Esek Songgoriti”, (2013), menemukan bahwa di daerah kota Batu, tepatnya di kawasan Songgoriti juga terdapat sebuah tempat pariwisata seks yang berwujud penginapan. Dalam penelitiannya, menyebutkan jika image 5S (sun, sex, sight, saing and servility) telah melekat dalam aktivitas kepariwisataan. Berbeda dengan tujuan dari Sapta Pesona, Tujuan 5S dalam hal ini adalah berkaitan dengan sebuah hasrat penyaluran dorongan seks yang diwujudkan dalam sebuah penginapan yang terletak di daerah pegunungan. Terdapat beberapa faktor yang bisa dikatakan sebagai pendorong dalam berkembangnya keberadaan seks dalam pariwisata, yang diantaranya mencakup ranah wisatawan, pelaku bisnis, dan masyarakat setempat. Dari sisi wisatawan, prostitusi dijadikan sebagai wadah dalam penyalurahan hasrat (jajan, selingkuh, dan minuman beralkohol (alcoholic beverage). Dari pelaku bisnis, seks dalam pariwisata dimanfaatkan sebagai komersial sex. Kondisi demikian biasa dijadikan sebuah paket wisata yang secara legal dalam menghendaki aktivitas seks sebagai sebuah hal wajar dalam pariwisata.
Seokanto (2012), menjelaskan bahwa adanya prostitusi di tempat pariwisata tersebut merupakan sebuah gejala sosial yang dapat direncanakan ataupun bisa diartikan sebagai imbas dari adanya suatu kegiatan (tidak direncanakan). Soekanto menyebutkan jika adanya masalah sosial yang diakibatkan oleh dua opsi. Pertama, Manifest social problem merupakan sebuah masalah sosial yang timbul akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Masalah ini timbul karena tidak sesuainya norma dan nilai dalam masyarakat yang akhirnya menciptakan label ketidaksukaan masyarakat terhadap tindakan yang menyimpang. Kedua, Latent social problem yang meyangkut hal-hal berlawanan dengan nilai-nilai masyarakat, tetapi tidak diakui secara umum oleh masyarakat sekitarnya.
Namun, NTB yang sudah memiliki branding wisata Halal dan wisata syariah harus benar benar menjalankan konsep pembangunan yang sesuai dengan budaya lokal dan kepercayaan yang dimiliki. Percuma pembangunan pariwisata yang pesat dan maju dengan mengorbankan pondasi budaya dan kepercayaan masyarakat. Hal ini akan menjadi sebuah bom waktu yang nantinya akan meledak dan menimbulkan goncangan ekonomi dan kerusakan pondasi pembangunan.
Untuk itu, sebelum bom ini meledak, semua pihak harus mau duduk bersama untuk mengembalikan arah pembangunan pariwisata di NTB ke jalurnya sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama. Tetap dengan melibatkan semua pihak dan masyarakat lokal yang menjadi penerima manfaat yang terbesar.
Buang semua ego untuk mencari keuntungan sesaat. Agar semua pihak merasakan dampak positif dari pembangunan ini. Dan mari jadikan NTB ini sebagi rumah kita bersama. Kita jaga bersama untuk kesejahteraan semua pihak.
Berita lainnya klik di sini