barbareto.com | Pada akhir tahun 2011, saya membuat tulisan berjudul “ Gubernur Tidak Boleh Salah”. Waktu itu Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah, bapak Dr. H. Muhammad Zainul Majdi. Saat itu banyak sekali peristiwa, juga masalah yang menurut saya secara formal adalah, khilaf dan salah bagi seorang Gubernur.
Dilain sisi saat itu, Gubernur Dr. H. Muhammad Zainul Majdi memiliki banyak pendukung, yang begitu “mencintai”, “menghormati”, dan cenderung menganggap bahwa Dr. H. Muhammad Zainul Majdi “terlalu agung untuk “salah”, terlampau mulia untuk dipersalahkan. Bahkan sekalipun seluruh pendukung tersebut menyadari bahwa, Dr. H. Muhammad Zainul Majdi juga adalah manusia biasa, dan dia adalah Gubernur.
Pendukung yang saya maksud diatas bukanlah pendukung biasa, mereka terkonsolidasi, berstruktur rapi dan mengisi struktur pemerintah provinsi NTB saat itu. Mereka berlomba, mempersembahkan dirinya menjadi bumper, mengantre untuk berkorban menjadi pihak yang siap disalahkan, bila memang dianggap salah.
Gubernur Dr. H. Muhammad Zainul Majdi, tahun 2011 itu merespon tulisan saya yang muat di beberapa media cetak saat itu (ini kalau boleh geer, karena tidak pernah ada konfirmasi untuk memastikannya, red), dengan mengumpulkan para Kepala SKPD, Ormas, LSM, para tokoh dan lainnya. Termasuk saya juga diundang dan hadir.
Gubernur Dr. H. Muhammad Zainul Majdi dalam pertemuan itu, menegaskan, bahwa “Gubernur sebagai Kepala Pemerintah dan pemerintahan di NTB, bertanggungjawab penuh atas segala hal yang terjadi di lingkup pemerintahannya, termasuk didalamnya, kelakuan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala SKPD”.
Penegasan Gubernur Dr. H. Muhammad Zainul Majdi ini baik, sekalipun kalau kita ingat bersama, mereka tetap melakukannya dengan istiqomah. Puncaknya ketika dr. Mawardi tiba-tiba menghilang tanpa keterangan, dan tidak satupun Kapolda NTB yang bisa menemukannya.
Saya melihat tradisi sebagaimana kebiasaan tahun 2011 lalu, sepertinya terulang kembali di masa pemerintahan Zul-Rohmi. Kejadian yang sama dengan sedikit variasi. Apabila di zaman Dr. H. Muhammad Zainul Majdi, terdapat begitu banyak punggawa yang loyal dan siap menjadi bumper, agar Gubernur tetap nampak shaleh, bersih dan “agung”.
Itu tentu dengan pikiran bahwa loyalitas, dan kesiapan untuk berkorban, pada saatnya akan memberikan benefit bagi pelakunya. Ada trust yang kuat antara pemimpin dan pasukan. Ada timbal balik yang setimpal atas pengorbanan yang diberikan.
Sebaliknya, di zaman Doktor Zulkieflimansyah, tidak banyak punggawa yang berani melakukan pengorbanan, loyalitas tertinggi hanya bisa dilihat, dari gerakan pembelaan, lalu mencari kambing hitam atas “kesalahan” yang ada. Ini tentu dengan asumsi, bahwa para punggawa belum yakin, pengorbananya akan mendapat timbal balik yang setimpal.
Dalam peristiwa baru-baru ini. Ketika DPRD Provinsi NTB berdebat dengan Pemerintah Provinsi NTB, tentang dana direktif vs dana pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD, yang tampil, bukan Sekretaris Daerah (Sekda) atau jajaran dibawahnya, tapi Fihirudin.
Seorang pemuda dari Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, yang tentu semua orang bertanya, siapa dia dan apa hubungannya dengan masalah yang ada?.
Tentu Fihir dengan sigap akan mengelak, mengajukan argument, bahwa ini adalah masalah public, dan setiap warga Negara, putra NTB berhak ikut serta dan membicarakan atau memperkarakannya.
Ini persis seperti anekdot yang sering jadi bahan guyon, teman saya. Ahmad, S.H., ketua DPD Nasdem Kabupaten Lombok Tengah.
“Bulan lek atas langit iye bolet, batun telorm ne lek bawak langit, masih iye bolet. Lamum eyak tehubung-hubungang jak iye terhubung daet berhubungan masih hahahahaha”.
Substansi masalah yang diajukan oleh masing-masing pihak jadi kabur. Tiba-tiba Fihirudin buat laporan kepolisian. Saya sebenarnya berharap yang mempersoalkan dana direktif juga membuat laporan polisi, sehingga nanti perdebatan tentang pokir vs direktif ini akan menjadi perdebatan legal, notulensi persidangan yang disusun baik oleh panitera pengadilan, menjadi catatan resmi dalam putusan hakim, yang bisa dibaca dan dipelajari oleh seluruh kita. Termasuk anak cucu kita di masa yang akan datang.
Tetapi sayang tidak terjadi, hanya menjadi bahan ceng-cengan di media sosial, dan statement para politisi yang dikutip media. Tapi bukan itu yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.
Baca juga : ASN Wajib Nonton MotoGP Menuai Polemik
Ketika terjadi debat terbuka di publik, tentang direktif vs pokir. Kemana gubernur NTB?, kemana Ketua TAPD, Kepala BAPPEDA, Kepala BPKAD dan seluruh jajaran SKPD pemerintah provinsi NTB.
Bukankah mereka bersama DPRD Provinsi NTB yang membahas APBD Provinsi NTB setiap tahunnya?. Kenapa debatnya dibiarkan liar, cenderung menjadi gossip dan tanpa ujung?.
Mengutip argumentasi Fihirudin, tentu sebagai rakyat NTB, saya dan seluruh rakyat NTB, berhak mendapatkan penjelasan yang memadai terkait hal ini.
Pada peristiwa terkini. Tentang polemik surat Sekretaris Daerah Provinsi NTB, Hal : pembelian tiket MotoGP oleh masyarakat NTB.
Kita terkaget dengan statement Gubernur NTB, yang pada intinya mengatakan “Gubernur sesali kebijakan Sekda Gita” (ini saya ambil dari salah satu judul berita utama, halaman 1 salah satu media cetak terkemuka di NTB, red).
Bahwa, kebijakan fasilitasi pembelian tiket MotoGP untuk masyarakat NTB, dan bahkan kewajiban kepada PNS untuk membeli tiket. Adalah murni kebijakan Sekda NTB. Bukan kebijakan Gubernur dan tanpa koordinasi sedikitpun dengan Gubernur.
Melihat statement ini. Dalam pikiran saya yang bodoh, langsung muncul asumsi, bahwa,pertama, “Sekda Gita, adalah Sekda yang begitu berani, hebat dan power full”. Kedua, “Sekda Gita adalah Sekda yang bodoh, gegabah, dan ceroboh”.
Dengan logika yang linier, tentu juga akan muncul asusmsi sejenis tentang Gubernur Zul. Bahwa, pertama “Gubernur Zul adalah Gubernur yang bodoh, ceroboh dan lemah”. Kedua “Gubernur Zul, adalah gubernur cerdik, licin dan Sengkuni yang pandai mencuci bersih tangannya setelah berkotor-kotor”.
Mari kita lihat. Apakah mungkin, Gubernur Zul yang merupakan seorang lulusan PHd Universitas terkemuka di luar negeri adalah seseorang yang bodoh dan ceroboh?.
Gubernur Zul yang kepandaian dan kepakarannya, selalu membuat kagum orang sekelilingnya. Bahkan teman saya yang analis ekonomi tangguh bernama Lalu Fahrurrozi, alumni PKS yang saat ini menjadi ketua Partai Gelora NTB dan satu dari tidak banyak orang yang saya akui kepakarannya, selalu berkata.
“DZ jak edak baun lawan, ulah berawak lindung tie jak. Berotak cemerlang, laguk lolat un predictable. Mule lain doktor luar negeri jakn“.
Gubernur Zul adalah cendikia mumpuni yang hamper seluruh kita sudah mengetahui dan mendengan tentang kepandaiannya. Jadi tidak mungkin bodoh, apalagi ceroboh. Karena bodoh dan ceroboh, adalah dua sifat yang tidak dibolehkan bagi seorang cendikia.
Apakah mungkin, Sekda Gita yang merupakan seorang putra Lombok Tengah yang santun, masyhur dengan sopan santun dan tutur katanya yang ramah dan lemah lembut. Seorang yang terlatih menjadi birokrasi, bahkan belasan tahun menjadi humas, orang yang dekat dengan berganti-ganti Gubernur. Tiba-tiba berubah menjadi seorang “bawahan” yang bodoh dan ceroboh?.
Tiba-tiba “Congah” serta power full melawan dan “Melangkahi” gubernurnya ?. Seorang teman saya, M. Nasib Ikroman, wartawan tangguh, yang kini menjabat Sekretaris DPW Nasdem NTB, bahkan pernah menggelarinya “Kepala Dinas, Sanak”, untuk menggambarkan betapa hati-hatinya Sekda Gita dalam mengambil kebijakan, dan saking halus tutur bahasanya, ketika berkomunikasi.
Jadi tidak mungkin, Sekda Gita akan bodoh dan ceroboh. Juga tidak mungkin Sekda Gita akan “Congah dan melangkahi Gubernur”. Karena karakter dan backgroundnya, sebagai birokrat yang kenyang pengalaman, dan sebagai putra sasak yang “Tindih” serta menjaga kehormatannya. Akan menjaganya untuk terhindar dari sifat-sifat itu.
Kalau Gubernur Zul tidak mungkin bodoh dan ceroboh. Karena seorang cendikia mumpuni. Dan Sekda Gita tidak mungkin ceroboh dan congah. Karena seorang putra sasak yang Tindih. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?.
Tulisan ini saya hadirkan, tidak untuk memberikan ulasan atau prediksi, tentang apa yang terjadi. Saya tidak boleh menjadi orang yang sok tahu. Tentang hal tersebut. Tulisan ini hanya ingin menyampaikan, bahwa terdapat, jejak kelakuan yang sama dari dua contoh peristiwa yang diulas diatas.
Bahwa, ulasan dua peristiwa diatas (tentu pembaca bisa mengulas contoh berbagai peristiwa lain yang terjadi di NTB, red), menunjukkan kepada kita.
Terdapat kecenderungan, bahwa Gubernur Zul tidak mau dan tidak pernah mau salah. Dia tidak mau secara ksatria mengakui, bahwa ada kelemahan dan kesalahan dalam kepemimpinanya.
Bahwa ketika muncul satu soal, maka Gubernur sebagai pimpinan tertinggi di NTB, harus berani tampil mengatakan “Saya adalah pihak yang paling bertanggungjawab, atas segala soal. Kalau memang salah kami akan perbaiki”.
Bukan justeru sebaliknya. Lari dari masalah, menampilkan pembela-pembela yang justru mengkaburkan masalah, atau mencari kambing hitam, sehingga ditemukan pihak yang bersalah. Dan dipastikan bahwa bukan Gubernur salah. Dia bersih dan tidak mungkin terlibat dalam kesalahan tersebut.
Bahwa penting bagi seorang pemimpin, untuk memaklumatkan tentang tanggungjawab penuhnya atas segala persoalan. Agar muncul trust dari pasukan.
Seluruh pasukan harus menyadari dalam dirinya, bahwa setiap perintah yang harus dia jalankan. Dibelakangnya ada pemimpin pemberi perintah, yang siap mempertanggungjawabkan perintahnya.
Masyarakat NTB tentu tidak pernah berekspektasi, memiliki pemimpin yang sempurna. Tentu kita sadar, bahwa setiap manusia tidak luput dari salah dan dosa. Tidak peduli seberapa pandai atau tindih orangnya.
Tapi tentu masyarakat NTB, atau minimal saya boleh bermimpi, memiliki pemimpin yang ketika salah dan lemah, mengakuinya. Lalu memperbaikinya. Tentu ini adalah tahapan yang linier. Tidak mungkin berharap seorang pemimpin memperbaiki kesalahan dan kelemahan, dalam kepemimpinannya. Bila mengakuinya saja dia tidak sanggup.