Lombok Timur-NTB. BARBARETO – Salah seorang pasien inisial AS bersama dengan keluarganya M berasal dari Desa Teros, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, menduga pihak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Labuhan Haji telah memalsukan hasil dari rapid test pasien AS. Pasalnya, M menemukan beberapa fakta membingungkan ketika itu, seperti hasil rapid test yang tidak jelas dan hasil rapid test yang dapat berubah-ubah dalam hitungan jam.
M menceritakan kronologi awalnya AS melakukan rapid test di Puskesmas Labuhan Haji pada hari Rabu tanggal 18 November 2020. Rapid test itu, AS lakukan untuk melengkapi persyaratan kerjanya yang berlokasi di luar Daerah yaitu Kota Palembang.
Seusai melakukan rapid test, kata M selaku pendamping AS ketika ke Puskesmas Labuhan Haji mengatakan jika pada dasarnya, pasien diharuskan menunggu hasil dari rapid test itu pada rentang waktu 15 menit. Namun kata dari pihak Puskesmas pada waktu itu, untuk mendapatkan kesimpulan hasil maka harus menunggu pihak dari koordinator tim gugus tugas penanganan Covid-19 Kecamatan.
“Ketika 30 menit kemudian, barulah muncul tim dari gugus tugas kecamatan. Yang pada saat itu juga memberikan hasil dari rapid test yang dilakukan oleh AS,” tandas M.
Mendapati hasil rapid test itu yang bergaris satu, AS sendiri kaget ketika dikatakan bahwa dirinya dinyatakan reaktif. Padahal, pada umumnya yang ia ketahui ialah jika garis satu pada hasil rapid test maka menandakan hasilnya itu non-reaktif.
“Hasil rapid test dari AS itu bergaris satu, kok bisa reaktif,” herannya.
Tak puas dengan hasil rapid test dari Puskesmas Labuhan Haji itu, M berinisiatif mengajak AS untuk pergi menanyakan kejanggalan tersebut ke pihak gugus tugas penanggulangan Covid-19 Kabupaten Lombok Timur yang berada di rumah dinas Bupati Lotim.
Anehnya, M mengatakan jika pihak dari tim gugus tugas Lotim juga merasa heran ketika melihat hasil yang bergaris satu namun dikatakan reaktif oleh pihak Puskesmas Labuhan Haji.
“Setelah kami konfirmasi ke gugus tugas yang ada di pendopo Bupati, disana juga petugas kaget karena garis satu kok bisa reaktif. Yang sewajarnya itu harusnya non-reaktif” ceritanya.
Alasan dari pihak gugus tugas Kabupaten, lanjutnya, bahwa bisa saja terjadi dua kemungkinan. Yakni pertama, bahan yang digunakan di Puskesmas Labuhan Haji kurang memadai dan yang kedua bisa saja hasil rapid test itu berubah oleh tiupan angin ketika pasien berada di atas motor.
Dengan simpang siurnya hasil yang AS dapatkan dari hasil rapid test itu, maka M menyuruhnya untuk rapid test ulang di gugus tugas Kabupaten Lotim. Akan tetapi, karena alat yang digunakan oleh tim gugus tugas kabupaten Lotim sama dengan yang ada di Puskesmas Labuhan Haji. Maka AS tidak diperkenankan untuk rapid test ulang di tempat tersebut.
“AS mengajukan rapid test ulang lagi ke pendopo pada waktu itu, karena belum ada kejelasan status hasilnya. Namun kata dari pihak gugus tugas Kabupaten Lotim karena alat yang digunakan sama, maka hasilnya juga kemungkinan akan sama. Untuk itulah AS tidak diberikan rapid test ulang disana,” ulasnya.
Tak habis akal, akhirnya M mengajak AS untuk pergi ke salah satu klinik swasta yang berada di Lotim untuk melakukan rapid test ulang. Setelah 15 menit menunggu, hasilnya keluar dan AS dinyatakan non-reaktif.
“Kami kemudian ke klinik swasta, untuk melakukan rapid test ulang. Setelah 15 menit hasilnya keluar dan AS dinyatakan non-reaktif oleh pihak klinik swasta itu,” paparnya.
Menjawab cerita dari pasien AS, Kepala Puskesmas Labuhan Haji Lalu Rusli Anhar memaparkan kalau pada awalnya, garis yang dihasilkan dari hasil rapid test pasien berjumlah dua.
“Dari hasil laboratorium itu, awalnya memang ada dua garis” ucapnya.
Namun, sambungnya, kemungkinan bisa saja terjadi kesalahan tehnis yang bisa menyebabkan hasil rapid test tersebut berubah. Atau kemungkinan juga, pada saat itu hasil dari rapid test itu mengalami pemudaran sehingga menjadikannya satu garis.
Pihaknya juga mengatakan bahwa pasien yang datang sewajarnya diberikan pelayanan yang baik, terutama dalam hal efektifitas waktu. Tak terkecuali ketika pelayanan rapid test, pasien wajib mendapatkan pelayanan yang cepat dari PKM Labuhan Haji.
Di tempat yang sama Petugas Laboratorium yang waktu itu memeriksa pasien AS yakni Dian Irmayani menceritakan ketika awal pasien itu datang ke Puskesmas Labuhan Haji, sudah dilayani sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Setelah menunggu selama kurang lebih 15 sampai dengan 20 menit, kata Dian hasil dari rapid test tersebut pasien dinyatakan reaktif. Sebab terdapat garis dua yang tertera pada hasil rapid test, namun ia mengaku tidak memberikan langsung hasil itu kepada pasien. Karena masih menunggu petugas gugus tugas penanganan Covid-19 Kecamatan Labuhan Haji yang bernama Pak Pai.
“Karena Pak Pai sedang berada di sekolah, untuk itulah ia datang setelah 30 menit kemudian,” tandasnya.
Tak lama berselang itu, lanjutnya, setelah kedatangan dari petugas gugus tugas Covid-19 Kecamatan, pasien kemudian dijelaskan dengan hasil yang sama yakni sesuai dengan kesimpulan awal (garis dua yang menandakan reaktif).
Dirinya juga menjelaskan, jika kemungkinan bisa saja terjadi ketika anti bodi pasien tersebut sudah mulai membaik. Kemungkinan hasilnya itu bisa berbalik arah menjadi tidak reaktif, setelah 7 hari ke depannya. Disisi lain, ia menyebut jika pasien atas nama AS terburu-buru untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas, karena dikejar oleh pekerjaan di luar daerah.
“Tapi mungkin dari pasien pada waktu itu kepepet waktu dengan kerjaannya, karena pasien itu juga mengatakan butuh cepat sebab kalau tidak tiketnya akan hangus,” tuturnya.
Pada saat itu juga, Dian menerangkan belum berani menyimpulkan hasil dari rapid test tersebut. Sebab, kalau sudah lebih dari 20 menit ia tidak berani menyatakan kesimpulan itu reaktif ataupun non-reaktif. Pasalnya, secara SOP jika diatas 20 menit maka hasil rapid test itu tidak boleh dibaca.
“Jadi patokan saya itu mengatakan reaktif sebelum 20 menit itu,” katanya.
Sehingga tingkat sensitifitas dari alat rapid test yang digunakan oleh Dian pada saat itu di Puskesmas Labuhan Haji, dapat disimpulkan alatnya sama dengan yang ada di Dinas Kesehatan karena itu dikeluarkan oleh pihak Dinas. Oleh sebab itulah jika pasien di rapid test ulang, maka akan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Ia tidak mengelakkan, karena alat rapid test itu sifatnya hanya screaning maka bisa saja virus yang lain juga ikut dapat menyebabkan pasien menjadi reaktif. Maka dari itu, jika pasien membutuhkan waktu yang cepat maka dirinya menyarankan untuk dilakukan test Swab agar waktu lebih efisien.
“Untuk itulah kalau ada pasien yang butuh waktu cepat, kami sarankan untuk melakukan test Swab saja,” sarannya.
Adapun terakit dengan adanya perubahan status dari reaktif ke non-reaktif ketika di lakukan test di tempat yang berbeda, ia membeberkan sering juga terjadi hal seperti itu. Sehingga pasien lebih memilih hasil yang non reaktif karena dianggap lebih menguntungkan pasien.
Tentang adanya bahan kimia yang digunakan oleh PKM untuk rapid test, ia meyakini bahwa itu merupakan bahan yang sudah direkomendasikan oleh Dinas terakit, mengingat bahan tersebut juga belum mencapai batas expired.
“Bahan yang kami gunakan juga belum expired kok” imbuhnya. (gok)