barbareto.com | Opini – Protes yang dilakukan oleh para pengusaha ayam petelur di Kabupaten Lombok Timur yang resah terhadap serbuan telur dari luar daerah akhirnya dijawab oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Surat Edaran (SE) Gubernur NTB No. 511/13/Kum/Tahun 2021 tentang Pengendalian Peredaran Produk Hewan Ternak Di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Menarik untuk mengomentari terkait dengan terbitnya surat edaran gubernur NTB tersebut. Lombok Research Center (LRC) bahkan didalam suatu agenda diskusi memberikan pandangan bahwa permasalahan utama dari protes yang dilakukan oleh para pengusaha ayam petelur lebih kepada disparitas harga telur bukan pada jumlah telur dari luar daerah yang banyak beredar di NTB.
Seperti dipahami bahwa permintaan masyarakat NTB terhadap kebutuhan telur ayam sangatlah tinggi. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakeswan) Provinsi NTB kebutuhan telur untuk konsumsi di NTB saat ini sebanyak 1.300.000 butir per hari sementara peternak di NTB hanya mampu memproduksi sebanyak 600 ribu butir telur per hari dan ada sekitar 700 ribu butir telur masih dipasok dari pulau Jawa dan Bali.
Jadi, harusnya kebijakan pemerintah daerah tidak fokus pada pengendalian peredaran telur dari luar daerah namun, bagaimana caranya agar harga telur lokal disparitasnya tidak terlalu jauh dengan harga telur dari luar daerah.
Pemerintah daerah harusnya sudah cukup peka dengan persoalan ini, karena kondisi disparitas harga ini sudah berlangsung lama. Hal ini tentunya disebabkan oleh sistem rantai pasok dari peternakan ayam mulai dari hulu ke hilir telah dikuasai oleh perusahaan peternakan ayam (intergrator).
Perusahan-perusahaan tersebut menguasai mulai dari bibit ayam, pakan ternak, hingga pada penguasaan jaringan distribusi sampai kepada konsumen. Jadi didalam menetapkan harga, para peternak ayam petelur akan memperhitungkan harga input (produksi) yang sebagian besarnya masih bergantung dari luar daerah.
Baca juga : Apa Kabar BUMDes di Lombok Timur?
Pendirian pabrik pakan ternak oleh pemerintah provinsi NTB yang berada di komplek STIP belum terlihat hasilnya di lapangan, bahkan Jagung sebagai bahan dasar pembuat pakan lebih banyak terkirim ke luar daerah. Kondisi ini tentunya menyebabkan peternak lebih memilih pakan di luar daerah dengan implikasi harga lebih tinggi dan mempengaruhi biaya produksi.Selain itu, biaya transportasi dari luar daerah ke NTB tidak terlalu signifikan mempengaruhi harga telur dari luar daerah karena komoditas telur ayam merupakan kebutuhan pokok yang akan tetap dibeli oleh konsumen. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga telur ayam di pasar tradisional pada minggu terakhir bulan September 2021 mencapai Rp22.250/kg. Sedangkan pada waktu yang sama harga di Jawa Timur mencapai Rp18.800/kg dan di Bali mencapai harga Rp21.400/kg. Imbas dari penerapan PPKM dalam berbagai level di NTB juga turut mempengaruhi permintaan konsumen dan pada akhirnya berdampak terhadap harga telur di pasaran.
SE Gubernur NTB dan Beberapa Solusi
Bahwa kebijakan pemerintah provinsi NTB untuk memberikan perlindungan terhadap produk lokal melalui pengaturan peredaran produk hewan ternak (telur ayam). Untuk jangka waktu pendek mungkin akan efektif apabila Gubernur NTB didalam surat edaran tersebut juga menginstruksikan para aparatur sipil negara (ASN) di semua lingkup pemerintahan daerah, baik level provinsi maupun level kabupaten/kota di NTB untuk dapat membeli telur lokal sebagai upaya membantu para petrnak ayam petelur yang merugi.
Hal itu dengan cepat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Bupati dengan segera mengeluarkan surat himbauan nomor: 500/104/EKO/2021 yang sisnya mengedepankan penggunaan produk lojkal dan mendorong pembelian telur local minimal 1 trey per ASN. Kebijakan ini cepat dan jangka pendek memang akan memberikanpengarud kepada peternak ayam petelur. Namun secara jangka panjang dan berkelanjutan masih sangat jauh dari harapan.
Selanjutnya, pemerintah daerah juga perlu untuk memberikan perlindungan harga pada produk peternak ayam petelur di NTB melalui kebijakan pembatasan harga atas dan harga bawah agar terjadi persaingan harga yang seimbang antara telur lokal dengan telur dari luar daerah. Selain itu, subsidi di harga juga sudah seharusnya dilakukan. Selama ini kebijakan dalam sector pertanian dan peternakan selalu focus kepada input saja. Tidak pernah mencoba melakukan trobosan baru dalam bisang out put.
Selain itu, pemerintah daerah harus memberikan perhatian kepada peternak ayam petelur melalui pemberian subsidi pada input peternakan (produksi). Berdasarkan pada capaian kinerja Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB tahun 2020, tidak terdapat program subsidi terhadap input untuk meningkatkan produk hewan ternak (telur ayam). Masih kepada beberapa komoditi pangan dan beberapa komoditi hortikultura. Belum pernah ada kebijakan langsung yang dikhususkan pada peternak ayam petelur.
Selama ini peningkatan produksi hasil peternakan hanya fokus pada peningkatan pertumbuhan populasi ternak saja melalui kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pembibitan ternak. Untuk itu, kedepannya harus ada kebijakan yang mengatur upaya pemberian subsidi pada input untuk membantu meringankan biaya produksi peternak ayam petelur di NTB.Bagi Lombok Research Center (LRC), surat edaran Gubernur NTB seharusnya tidak hanya fokus pada permasalahan peredaran telur dari luar daerah yang membanjiri NTB dan harga di tingkat peternak yang rendah namun, LRC sebenarnya berharap pemerintah daerah juga melakukan hal yang sama terhadap beberapa komoditi pertanian NTB yang seringkali mengalami hal serupa. Salah satu contohnya adalah komoditi bawang putih sembalun yang pada tahun 2019 yang lalu sangat rendah nilainya sehingga, banyak petani di Sembalun yang merugi.
Artinya disini, sesungguhnya persoalan produk pertanian dan peternakan NTB adalah permasalahan pasca panen atau perlindungan harga. Kita tentunya tidak ingin beberapa komoditi pertanian dan peternakan kita mengalami nasib yang sama yaitu mendapatkan kebijakan pembatasan dari daerah lain yang selama ini menampung hasil produksi pertanian dan peternakan dari NTB.
Sebagai contoh cabe petani di Pulau Lombok saat ini beredar di 16 propinsi Indonesia. Jika propinsi lain melakukan pembatasan produk pertanian cabe, maka petani di pulau Lombok akan menjerit juga. Begitu pun misalnya dengan produk bawang bima kita.
Untuk itu, gubernur sebaiknya membuat program yang mampu menciptakan iklim bisnis bagi komoditi unggulan daerah kita. Masih ada waktu di anggaran perubahan dan anggaran tahun depan yaitu tahun 2022. Itu pun jika gubernur mau dan peduli kepada masyarakatnya.