
barbareto.com | Opini – Penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang tertuang dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 telah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan dalam rangka pembangunan dan pemerataan daerah. Kebijakan mengenai desentralisasi fiskal ini diyakini mampu mempercepat proses pembangunan serta mengurangi kesenjangan pembangunan masing-masing daerah di Indonesia.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang No 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Didalam desentralisasi fiskal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi tolak ukur yang harus diupayakan secara optimal, mengingat pemerintah daerah membutuhkan biaya atau dana yang cukup untuk melaksanakan fungsinya secara efektif dan efesien dalam pelayanan dan pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal menurut Prawirosetoto dalam Pujiati (2006, h.5) yaitu pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun aspek pengeluaran.
Namun didalam pelaksanaannya, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah menyebabkan adanya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Otoritas Khusus. Kementerian Keuangan (2019) menyatakan secara rata-rata nasional, ketergantungan fiskal daerah terhadap transfer pemerintah pusat sebesar 80,1 persen. Sementara itu kontribusi PAD hanya sekitar 12,87 persen.
Angka rata-rata Nasional tersebut merupakan angka pada level Provinsi dan untuk level Kabupaten/Kota, Kementerian keuangan juga menyatakan kondisinya lebih parah. Padahal fokus otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ada pada daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak lepas dari dampak penerapan otonomi daerah. Dari hal tersebut Provinsi NTB dalam perolehan Pendapatan Asli Daerah sumber utamanya berasal dari pajak Daerah, retribusi daerah, pendapatan asli daerah lain-lain yang sah.
Adapun komponen pajak daerah dan retribusi daerah yaitu : pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C, serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Derajat Desentralisasi
Kemampuan atau indikator ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat dapat terlihat dari besaran PAD-nya. Semakin besar sumbangan PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menunjukkan semakin kecil ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Demikian pula sebaliknya apabila sumbangan PAD terhadap APBD menunjukkan semakin besar ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat.
Derajat desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal adalah kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat desentralisasi fiskal menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari terselenggaranya desentralisasi fiskal antara lain untuk memperkecil kesenjangan antara keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta meningkatkan kualitas pelayanan publik Rasio dirumuskan Desentralisasi Fiskal dengan membagi antara Pendapatan Asli Daerah dengan Total Penerimaan Daerah.
Sejak terjadinya Pandemi dari tahun 2020 sampai saat ini sangat berimbas terhadap pendapatan daerah NTB. Saat ini pendapatan dianggap tidak mampu menutupi berbagai rencana pembangunan dan pembiayaan pemerintah provinsi. Dari data yang ada Pendapatan daerah tahun ini baru Rp 186 Miliar lebih (Lombok Post, 7 Juli 2021).
Namun di samping pendapatan itu, ternyata hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan pemprov mengalami defisit keuangan sebesar Rp 11 Miliar lebih. Di sisi lain defisit Rp 11 Miliar, pemerintah juga menghitung kekurangan anggaran untuk APBD perubahan 2021 sebesar Rp 394 Miliar lebih.
Dengan melihat defisit yang ada, banyak anggota DPRD yang mengusulkan untuk melakukan pinjaman melalui skema Pemulihan ekonomi Nasional (PEN). Pada tahun 2021 ini, postur APBD Murni pemprov sebesar Rp 5,4 Triliun dengan PAD sebesar Rp 195,4 Miliar. Tetapi kemudian kebutuhan membengkak di APBD perubahan 2021 menjadi Rp 5,587 Triliun.
Hal ini sudah ditetapkan melalui Perda No 12/2019 yang kontraknya sudah ditandatangani dan sedang berjalan. Perda itu berisi tentang Percepatan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur Jalan Provinsi dengan Pola Pembiayaan Tahun Jamak. Kala itu perda disusun berdasarkan asumsi tidak ada dampak resesi ekonomi.
Berdasarkan kajian Lombok Resarch Center (LRC) yang menyatakan tingkat desentralisasi fiskal NTB tergolong kurang. Hal ini dibuktikan dengan mengukur rasio antara PAD dengan total penerimaan daerah. Dari data yang ada, tingkat desentralisasi NTB pada 2019 adalah sebesar 10 persen.
Hal ini juga menandakan bahwa pemerintah NTB masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat dalam kemandirian keuangan daerahnya. Dilihat dari derajat desentralisasi fiskal NTB tahun 2016-2018, rata-rata tingkat penerimaan PAD terhadap Total Penerimaan daerah sebesar 12 persen.
Jumlah ini merupakan jumlah yang relatif kurang, kerena tingkat pencapaian kinerja keuangan daerah dari PAD terhadap Total Penerimaan Daerah yang rendah menunjukan masih besarnya ketergatungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat berarti menunjukan adanya konstribusi yang rendah terhadap pembiayaan pembangunan pada pemerintah Provinsi NTB.
Alternatif Kebijakan Peningkatan PAD NTB
Masih tingginya ketergantungan pemerintah Provinsi NTB terhadap pemerintah pusat yang terlihat dari kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah menandakan bahwa kemampuan pemerintah NTB dalam mengidentifikasi potensi sumber pendapatannya.
Bahkan hal ini juga membuktikan optimalisasi usaha pemerintah NTB dalam penerimaan pajak daerah, retribusi daerah atau bahkan penerimaan dari hasil kekayaan daerah yang dipisahkan sesuai UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Untuk itu, Lombok Research Center menyarankan agar pemerintah NTB dapat memanfaatkan potensi daerah seperti pada sektor pertanian sebagai salah satu cara peningkatan PAD. Usaha ekstensifikasi mutlak dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai potensi daerah yang dimiliki sehingga, menimbulkan peluang baru sebagai sumber penerimaan daerah.
Peluang penerimaan PAD melalui sektor pertanian sangat terbuka lebar. Terbukti sektor pertanian bersama kehutanan dan perkebunan berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB pada tahun 2020 yaitu mencapai 23,19 persen.
Memaksimalkan potensi pertanian melalui kerjasama atau konektivitas antar daerah perlu dijalani oleh pemerintah NTB, mengingat kebutuhan produk pertanian di NTB berdasarkan kajian sangat luar biasa mencapai 5 Triliun.
Apalagi kedepannya kita ditunggu oleh peluang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dengan evant MotoGP sebagai andalannya. Dinas Pariwisata NTB menyebutkan bahwa jumlah akomodasi penginapan di NTB tahun 2019 sebanyak 1.332 unit, terdiri dari 88 hotel berbintang dan 1.244 hotel melati.
Selain itu, dengan program unggulan yang selama ini didengungkan oleh Gubernur melalui indutrialisasinya juga harus memperkuat pondasi di sektor hulu. Jangan sektor hilir saja yang diperhatikan.
Konsep awal industrialisasi yaitu untuk meningkatkan nilai tambah bagi komoditi unggulan yang ada di NTB. Sehingga akan didorong industri berskala lokal yang mampu menciptakan teknologi pengolahan hasil. Namun pada ujungnya konsep itu berubah dengan dikeluarkannya “Lebui” motor listrik sebagai produk unggulannya.
Gubernur seharusnya fokus kepada konsep awalnya untuk membangun pondasi dasar industrialisasi. Jangan melebar kemana-mana. Sehingga sampai 3 tahun kepemimpinannya masih belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam sektor peningkatan nilai tambah komoditi unggulan lokal NTB.
Adapun alternatif lainnya yang dapat dijalankan oleh pemerintah NTB untuk meningkatkan PAD adalah melalui pemberian wewenang dan pendelegasian kepada organisasi Perangkat daerah (OPD) yang potensial menyumbangkan pendapatan murni untuk penarikan retribusi pajak. Namun, tetap dengan melakukan kajian dan uji petik yang professional.
Penutup
Sebagai salah satu daerah otonomi, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), harusnya mampu memaksimalkan potensi daerah yang dimilikinya. Target produksi pertanian yang selama ini menjadi barometer keberhasilan pemerintah daerah juga harusnya dibarengi oleh peningkatan PAD dari sektor ini melalui peluang-peluang penerimaan baru yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sehingga integrasi berbagai sektor dalam menunjang industrialisai harus benar-benar dilaksanakan. Dengan harus memperkuat pondasi disektor hulu agar produksi dan teknologi peningkatan hasil bisa berkelanjutan tanpa adanya ketimpangan di hulu maupun hilir.
Dibutuhkan “pembisik” yang cerdas dan memiliki kompetensi pemberdayaan masyarakat oleh gubernur sebagai upaya memberikan masukan yang tepat terkait dengan tujuan meningkatkan pendapatan daerah yang bersumber dari PAD. Supaya, jangan yang dibisikkan adalah keberhasilan yang semu sehingga mimpi untuk menjadi capres yang selalu didengungkan.
Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center