23.7 C
Lombok
Kamis, Juni 26, 2025

Buy now

Polemik Vonis Bebas Aryanto Prametu

barbareto.com | Putusan vonis bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Nusa Tenggara Barat (NTB), terhadap Direktur PT Sinta Agro Mandiri (SAM), Aryanto Prametu saat ini menjadi polemik.

Terkait bebasnya terdakwa kasus korupsi benih jagung tahun 2017 tersebut, beberapa pihak melontarkan komentar, mulai dari LSM, Akademisi sampai dengan praktisi hukum.

Seperti apa tanggapan mereka?

LSM Garuda: Putusan Hakim Aneh

Putusan banding majelis hakim dengan susunan Soehartono sebagai ketua bersama anggotanya, I Gede Komang Ady Natha dan Mahsan, turut memerintahkan penuntut umum mengeluarkan terdakwa Aryanto Prametu dari tahanan.

Hal itu mendapat sorotan dari Direktur LSM Garuda, M. Zaini.

Zaini mengungkapkan bahwa memang benar kasus hukum tidak boleh di intervensi, namun melihat hasil putusan hakim Pengadilan Tinggi NTB ini menyebabkan publik bertanya, sebagai masyarakat, Zaini merasa bahwa putusan ini sangat aneh.

“Keputusan hakim ini sangat aneh,” ungkap M. Zaini. Rabu 30 Maret 2022.

Menurut Zaini, anehnya putusan tersebut dilihat dari kerugian keuangan Negara dan kerugian langsung yang dirasakan oleh petani, dimana menurutnya sangat jauh dari rasa keadilan.

“Keputusan hakim ini malah akan membuat petani semakin sakit. Ibaratnya sudah luka di kasih air garam lagi petani,” sambungnya.

Sebagai perwakilan aspirasi masyarakat, dirinya (LSM Garuda, red) akan melakukan aksi serta mengirim laporan kepada tim pengawas hakim Mahkamah Agung.

Ia juga akan meminta agar hakim-hakim yang membebaskan terdakwa ini untuk diawasi, jika perlu dilakukan audit atas apa yang dilakukan selama persidangan.

“Kami akan meminta Tim Pengawas mahkamah agung untuk mengawasi kinerja dan keuangan dari hakim-hakim yang membebaskan terdakwa kasus korupsi benih jagung ini,” tutup Zaini.

Pengamat Hukum: Vonis Bebas Aryanto Prametu Menandakan Kegagalan Penegak Hukum

Sorotan yang sama juga di ungkapkan Praktisi Hukum, Taufan, S.H. M.H.

Ia melihat kasus tersebut dari dua aspek, yakni aspek formil dan materil.

Dari aspek formil, dikatakannya berkaitan dengan penegakan hukum.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB sudah mendeteksi perbuatan yang dilakukan oleh Aryanto merupakan perbuatan tindak pidana.

“Dalam aturan hukum, seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah dilakukan penahanan itu orang yang diduga kuat melakukan tindak pidana,” terang Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) tersebut saat dihubungi media ini, Rabu 30 Maret 2022.

Baca juga :

Adapun terkait dengan dilepasnya Aryanto dari segala tuntutan hukum, Taufan berpendapat dikarenakan adanya kerentanan penegakan hukum yang terjadi, mulai dari proses awal bergulirnya kasus pengadaan benih jagung tersebut.

Ia juga menilai bahwa tidak ada analisis yang mendalam dari Kejaksaan untuk melihat ini sebagai perbuatan pidana.

Selain itu, dari kasus ini sambung Taufan, menandakan kegagalan penegak hukum atau hal yang memalukan.

Selama ini yang dikerjakan membuktikan perbuatan, namun perbuatan itu bukan pelanggaran pidana, melainkan terbukti melakukan perbuatan melanggar administrasi.

“Artinya, ini juga mengindikasikan jaksa tidak maksimal untuk mengarahkan ini sebagai perbuatan pidana. Kalau dicermati, putusan lepas itu adalah putusan yang unsur-unsurnya terbukti namun bukan tindak pidana,” sambung Taufan.

Disamping itu, ia juga melihat adanya ketidak cermatan dari seorang hakim.

Penerapan hukum seperti apa yang diterapkan?.

Dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ia menyebutkan pasal yang sering digunakan yaitu pasal 2, sementara jika diperdalam, ada pasal lain yang bisa dipergunakan.

“Jangan dipaksakan memakai pasal 2 kalau memang tidak memenuhi. Namun kembali ke fakta, bahwa direktur PT. SAM, bagian dari pasal 2 yang diterapkan,” ucapnya.

Sementara dari aspek materil, Taufan menjabarkan, dalam kasus ini yang bersangkutan ialah pihak swasta.

Perkara tersebut juga hanya menggunakan pasal 2 dalam hukum yang dilanggar.

Tentu hal itu merupakan sesuatu yang yang menguntungkan bagi yang bersangkutan (terdakwa, red).

Semestinya, kata Taufan, hakim lebih menggali lagi penerapan hukum dalam pasal 2 ini.

Pelanggaran administrasi apa yang dimaksudkan, karena dalam pelanggaran administrasi ini yang paling mungkin dilakukan oleh pejabat negara.

“Yang paling mungkin melakukan pelanggaran administrasi ialah pejabat negara, kalau kita merujuk pada undang-undang 30 tahun 2014 tentang administrasi negara. Melihat dari putusan itu, saya tidak menyangka. Apalagi melihat dari pemberantasan korupsi di Indonesia, ini hal yang memalukan sebenarnya. Kalau memang lepas, seharusnya dari awal kasus tidak usah naik. Itukan logikanya, karena kasus ini bukan tindakan pidana,” paparnya.

Dalam kasus yang bergulir sejak tahun 2017 ini, ia lebih menyoroti kinerja Kejaksaan dan Hakim, karena pada dasarnya Jaksa yang menggali bukti-bukti yang ada.

Harusnya Jaksa sudah menyiapkan semua komponen untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana, bukan melanggar administrasi.

“Ini terbukti bersalah, tapi bukan tindak pidana. Inikan hal yang lucu dan hanya menghabiskan anggaran,” ujarnya.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diterima oleh Aryanto Prametu dikarenakan pihak kejaksaan yang kurang mendalam menganalisis.

Sehingga hakim yang memberikan putusan juga tergantung dari alat bukti yang diberikan oleh pihak kejaksaan.

“Makanya saya lebih menyoroti di jaksa dan kedua hakimnya yang terlalu dangkal melihat norma ini. Karena fungsinya Pengadilan Tinggi ini judex juri,” pungkasnya.

Emil Siain: Klien Kami, Aryanto Prametu Itu Korban

Adanya sorotan polemik dari berbagai pihak juga ditanggapi Emil Siain, penasehat hukum Aryanto Prametu.

Dihubungi media ini, Emil menanggapi adanya polemik dari berbagi pihak tersebut.

Emil mengatakan, adanya pro dan kontra terkait vonis bebas yang didapati kliennya adalah sebuah kewajaran.

“Pro dan kontra itu hal biasa, tugas kami selaku kuasa hukum memperjuangkan nasib klien kami sebaik mungkin sesuai dengan koridor hukum yang ada dan itu di jamin oleh undang-undang,” terangnya.

Disambung Emil, kewajibannya sebagai pengacara dari Aryanto Prametu telah terlaksana.

Hal itu tertuang dalam persidangan, dirinya telah menyampaikan fakta-fakta hukum yang ada dan tersaji di dalam persidangan.

“Selanjutnya hakim yang menilai, karena fakta hukumnya Aryanto ini adalah korban,” tambahnya.

Masih kata Emil, kerugian keuangan negara pada putusan sebelumnya juga sudah di kembalikan sebelum penetapan tersangka terhadap Aryanto.

“BPKP tidak boleh melakukan audit karena sudah di audit sebelumnya oleh BPK yang di tindak lanjuti oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. Karena dengan dilakukannya audit kembali oleh BPKP, maka kepastian hukum itu tidak ada,” tutupnya.

- Advertisement -
Barbareto
Barbareto
Informatif dan Menginspirasi

Related Articles

Stay Connected

2,593FansSuka
120PengikutMengikuti
195PelangganBerlangganan

Latest Articles