Oleh: Lalu Alamin, Presiden Solidaritas Warga Inter Mandalika (SWIM)
Opini, Barbareto.com – Pembangunan pariwisata di Kuta Mandalika dan Lombok Selatan seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat dan lingkungan. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, tanpa pengawasan yang ketat dari Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah, pembangunan yang seharusnya berkelanjutan berubah menjadi ancaman bagi lingkungan dan infrastruktur.
Nihilnya respons pemerintah dalam mengatasi masalah ini mengingatkan kita pada metafora “boiling frog syndrome”— di mana seekor katak yang ditempatkan dalam air yang dipanaskan perlahan-lahan tidak menyadari bahaya sampai akhirnya mati mendidih. Begitu pula kondisi pembangunan di kawasan ini, di mana masalah terus berkembang tanpa tindakan nyata dari pemerintah hingga akhirnya mencapai titik krisis.
Salah satu dampak paling nyata dari lemahnya pengawasan adalah banjir lumpur yang merendam kawasan strategis Kuta Mandalika. Hujan deras yang turun bukan lagi sekadar fenomena alam biasa, tetapi kini membawa serta lumpur yang menggenangi jalan dan merusak infrastruktur.
Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak terkendali di kawasan penyangga dan catchment area, yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air. Sayangnya, alih-alih menjaga kawasan ini tetap hijau, berbagai proyek properti justru terus bermunculan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan.
Beberapa daerah lain di Lombok Selatan memang mengalami degradasi lingkungan akibat pembukaan lahan untuk perladangan jagung, yang menyebabkan erosi tanah dan menurunnya daya serap air. Namun, dalam kasus Kuta Mandalika, tidak ada perladangan jagung yang terjadi di perbukitan kawasan penyangga dan catchment area yang mengelilingi Kuta Sentral.
Meskipun demikian, banjir lumpur tetap terjadi dengan tingkat keparahan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa faktor utama penyebab bencana ini bukanlah perladangan jagung, melainkan perubahan tata guna lahan akibat pembangunan yang tidak terkendali dan mengabaikan aspek konservasi lingkungan.
Selain di kawasan penyangga, pembangunan liar juga terjadi di sepadan sungai, wilayah yang seharusnya dilindungi berdasarkan peraturan tata ruang.
Bangunan-bangunan berdiri tanpa memperhatikan batas minimal yang ditetapkan, sehingga mempersempit badan sungai, menghambat aliran air sungai, dan meningkatkan risiko banjir. Ironisnya, hal ini terjadi di depan mata pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pengawal utama kelestarian lingkungan.
Tak hanya di kawasan sungai, pelanggaran pembangunan juga tampak jelas di beberapa titik di sepanjang jalan utama. Beberapa investor bahkan membangun hingga bahu jalan, mengorbankan ruang yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran kecil, tetapi mencerminkan kegagalan total dalam penegakan aturan tata kota.
Seperti yang dikatakan Presiden SWIM, “Jangan tanya soal parkir, untuk sekadar lewat jalan kaki saja susah. Kalau terus dibiarkan, kondisi ini memperparah kemacetan dan membuat Kuta Mandalika yang seharusnya menjadi kawasan wisata yang nyaman, malah menjadi kawasan yang semrawut dan sulit diakses di masa mendatang.”
Pemerintah Harus Bangun dari Tidur Panjang
Boiling frog syndrome menggambarkan bagaimana sebuah masalah berkembang perlahan tanpa disadari hingga akhirnya mencapai titik yang tidak bisa diatasi. Begitu pula dengan pembangunan di Kuta Mandalika. Jika pemerintah terus abai dan tidak segera mengambil tindakan tegas, kerusakan yang terjadi bisa menjadi permanen dan justru merugikan industri pariwisata itu sendiri.
Apa pun perubahan fungsi kawasan penyangga akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan kawasan. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah harus segera bangun dari tidur panjangnya dan mengambil langkah konkret.
“Pengawasan terhadap pembangunan harus diperketat, pelanggaran aturan harus ditindak tegas. Jika tidak, kita semua akan menjadi ‘katak’ yang terlambat menyadari bahwa air sudah terlalu panas untuk bisa menyelamatkan diri.”
SWIM tidak merekomendasikan bahwa pembangunan-pembangunan tersebut dihentikan total, tapi kami menuntut bagaimana pemerintah bisa mengawasi aktivitas pengembang agar mereka mengerahkan semua kemampuan teknis dan sumber daya mereka untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
Pariwisata berkelanjutan bukan sekadar slogan. Ia harus diwujudkan dengan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan kepentingan jangka panjang, bukan sekadar keuntungan sesaat bagi segelintir investor. Jika tidak sekarang, kapan lagi?”