barbareto.com | Lombok Timur – Beragam budaya dan adat istiadat selalu menghiasi tanah Nusantara, salah satunya terdapat ritual yang bernama “Ider-ider” yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ritual “ider-ider” merupakan salah satu ritual yang digelar setiap 8 tahun sekali, bertujuan untuk menyelamatkan bumi, bangsa dan negara dari segala macam marabahaya, seperti halnya yang terjadi saat ini yaitu untuk menghilangkan wabah pandemi Covid-19.
Dalam ritual tersebut, juga tersirat pesan untuk mengikat dan menguatkan persatuan dan kesatuan lintas generasi. Serta sebagai upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan alam sekitar.
Beberapa tahapan dalam ritual “ider-ider” harus dilakukan untuk menyempurnakan pemanjatan do’a. Sebelum pelaksanaan ritual, masyarakat terlebih dahulu mempersiapkan segala bahan dan alat yang akan digunakan, seperti menggunakan pakaian adat, menyiapkan syarat pemanjatan do’a dan alat gendang yang dijadikan sebagai alat wajib dalam ritual.
Setelah melakukan semua persiapan, tahap awal, masyarakat akan berjalan memutari satu rumpun rumah keluarga selama 7 kali putaran. Sambil diiringi musik khas adat Desa Bilok Petung, yakni dengan irama gendang, tiupan seruling, dentuman gong, dan rincik-rincik.
Kemudian dalam iring-iringan musik tersebut, digarda terdepan terdapat “Amaq Lokak” yang merupakan sesepuh adat sebagai orang yang memanjatkan do’a sembari dihimpit oleh beberapa orang yang memegang sesajen.
Warga yang memutar selama 7 kali itu, nantinya akan menanam sesajen pada 4 titik tumpu batu besar yang selalu digunakan ketika mengadakan ritual “ider-ider”.
Selesai berputar selama 7 kali, warga kemudian beristirahat sejenak. Tahap selanjutnya, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat berkumpul di satu tempat untuk mengadakan ritual terakhir yakni memanjatkan do’a kepada Yang Maha Kuasa.
Namun sebelum berdo’a, terlebih dahulu pemuda Desa setempat menyuguhkan berbagai jenis makanan dan lauk pauk yang ditaruh dalam satu wadah, untuk kemudian diberikan kepada semua masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam pemanjatan do’a.
Do’a kemudian akan dipimpin oleh salah seorang yang dipercaya, dan dalan pembacaan doa, si pemimpin akan menggunakan dua campuran bahasa di dalam do’a tersebut, yakni bahasa sasak dan bahasa arab. Setelah do’a, seluruh masyarakat menyantap makanan yang telah disediakan.
Hal itu mencerminkan budaya gotong royong yang selama turun-temurun menjadi sebuah kebiasaan yang baik dalam kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya yang ada di Pulau Lombok.
“Kita berdo’a bersama alam kita khususnya Indonesia ini supaya keluar dari segala macam bencana, termasuk tanah longsor, gempa bumi dan termasuk yang sekarang ini Covid-19. Mudah-mudahan bisa hilang, jadi inilah bentuk kepedulian kami,” tandas Purnipa, tokoh ada setempat. (gok)